.Bismillah

.Bismillah

Jumat, 20 Februari 2015

Dari Constantinople Menjadi Islambul

“Niscaya kelak Konstantinopel akan ditaklukkan... rajanya adalah sebaik-baik raja dan prajuritnya sebaik-baik prajurit.”
Istambul yang kita kenal kini adalah salah satu kota terpenting bagi identitas negara Republik Turki. Kota yang memiliki sejarah panjang terkait riwayat pe­nama­annya ini juga merupakan kota pelabuh­an terbesar di Turki. Kota ini memiliki ke­unikan geografi; sebagian masuk benua Eropa dan sebagiannya lagi masuk be­nua Asia, dengan dihubungkan oleh se­buah jembatan yang melintasi Selat Bosporus.
Istambul bermula dari sebuah kota bernama Bizanthium, yang dibangun bangsa Yunani pada kira-kira abad ke-7 SM. Pada tahun 330 M, kota ini dijadikan ibu kota Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Constantine The Great. Kota ini kemudian diubah namanya oleh sang kaisar menjadi Konstantin, yang dalam bahasa Romawi disebut Konstantinopel (Constantinople). Namun pada tahun 395 M, ketika Kekaisaran Romawi ter­pecah, kota ini menjadi ibu kota Kekai­sar­an Romawi Timur dengan nama Bizantium. Sedangkan pecahan lainnya, Romawi Barat, beribu kota Roma.
Romawi Timur, yang memusatkan ke­kuasaannya di Bizantium atau Kon­stantinopel, kemudian membangun kota tersebut dengan berbagai bangunan mo­numental, seperti gereja Aya Sophia dan benteng Golden Horn. Tak pelak lagi, bangunan-bangunan monumental terse­but serta letaknya yang strategis sebagai pintu gerbang Asia-Eropa maupun se­baliknya menarik perhatian dunia.

Nubuwwah Nabi SAW
Nabi Muhammad SAW mengimpi­kan, kelak suara adzan akan menggema di negeri itu. Melalui isyarat yang Allah Ta’ala sampaikan kepada beliau, di ha­dapan para shahabatnya, beliau bersab­da, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, “Latuftahannal qasthanthiniyyah... falani’mal amir amiruha wa lani’mal jaisy dzalikal jaisyu....”(Niscaya kelak Kon­stantinopel akan ditaklukkan... rajanya adalah sebaik-baik raja dan prajuritnya sebaik-baik prajurit).
Delapan abad setelah itu, perkataan Nabi benar-benar terjadi. Benteng Kon­stantinopel, yang terkenal kuat dan tang­guh, akhirnya dikuasai kaum muslimin. Para ulama, di antaranya Ibnu Taimiy­yah, membenarkan kabar Nabi ini seba­gai dalil min dalail an-nubuwwah, salah satu tanda bukti kebenaran kenabian Nabi Muhammad SAW, yakni mem­beritakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Berkali-kali usaha menggemakan adzan di bumi tonggak kebesaran Eropa ini dilancarkan, di antaranya di masa Muawiyah bin Abi Sufyan. Meski upaya itu belum berhasil, Abu Ayyub Al-An­shari, sahabat Rasulullah SAW yang ga­gah berani, bersumpah, jika ia wafat da­lam pertempuran itu, ia meminta agar di­makamkan tepat di bawah tembok ben­teng Konstantinopel, agar jasadnya ke­lak menjadi saksi kemenangan yang te­lah dikabarkan Nabi SAW itu.
Sebagaimana upaya yang sama di­lakukan para khalifah Bani Umayyah lain­nya, di masa Abbasiyyah, misi itu juga terus dilanjutkan. Setelah jatuhnya Baghdad 656 H/.... M, usaha menakluk­kan Konstantinopel diteruskan oleh ke­rajaan-kerajaan kecil di Asia Timur, ter­utama Kerajaan Seljuk. Berkat kegigihan Dinasti Seljuk, sebagian besar wilayah kekaisaran Roma takluk.
Kemudian beberapa usaha untuk me­naklukkan Konstantinopel juga di­lakukan oleh para pemimpin Daulah Utsmaniyyah, sejak masa raja pertama mereka, Utsman bin Ertogrul, hingga masa raja keenam, Murad II.
Akhirnya Allah SWT mewujudkan impian kaum muslimin untuk menakluk­kan benteng tersebut melalui tangan pe­mimpin ketujuh, Sultan Muhammad II, yang dikenal tangguh, shalih, dan ama­nah di mata rakyatnya.
Dikisahkan, tentaranya tidak pernah meninggalkan shalat wajib sejak baligh dan separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan shalat Tahajjud sejak ba­ligh. Di samping ketaqwaan Sultan dan tentaranya kepada Allah, mereka juga memiliki semangat jihad yang tinggi, pantang menyerah, dan tidak takut mati. Mereka juga berhasil memainkan taktik perang yang luar biasa.
Penaklukan ibu kota Kekaisaran Ro­mawi Timur itu berada langsung di bawah komando Sultan Muhammad II, yang kala itu baru berumur 21 tahun. Sedangkan pihak lawan, yang bertahan dari gempur­an dahsyat itu, dikomandoi Kaisar Bizan­tium Konstantinus XI. Pengepungan ber­langsung dari Jum’at, 6 April 1453, hingga Selasa, 29 Mei 1453, berdasarkan Ka­lender Julian, yang bertepatan dengan 7 Jumadal Akhirah 857, menurut perhitung­an kalender Islam, ketika kota itu akhirnya takluk di tangan Muhammad II beserta prajuritnya.
Penaklukan Konstantinopel menan­dai berakhirnya Kekaisaran Romawi, negara adidaya, yang telah berlangsung selama hampir 1.500 tahun. Itu juga merupakan pukulan besar untuk Kristen. Di sisi lain, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, Sultan dan pa­sukannya bisa membuat kapal-kapal laut berjalan di atas daratan. Rute darat yang dilalui kapal-kapal Turki bukanlah rute yang mudah. Selain harus melewati jalan yang terjal, jarak yang harus ditempuh pun tidak pendek. Di samping itu, mereka juga telah memperkenalkan teknologi peledak massal sejenis meriam atau bom dalam peperangan kolosal itu.

Kota Islam
Konstantinopel adalah salah satu ban­dar terkenal di dunia. Semenjak di­diri­kan oleh maharaja Bizantium yakni Constan­tine I, kota ini  sudah menyita per­­hatian masyarakat dunia. Wilayahnya luas, ba­ngunannya besar, arsitekturnya megah dan indah­, kedudukannya  strategis.
Kon­stantinopel juga dikenal memiliki perta­hanan militer yang terkenal kuat. Di sam­ping benteng raksasa yang berdiri ko­koh, para prajuritnya pun selalu siap de­ngan berbagai macam senjatanya me­nyambut setiap pasukan yang hendak me­nyerang benteng itu. Tidak keting­gal­an galian parit yang besar membentang mengitari benteng ini, semakin menam­bah kesan bahwa kota ini mustahil di­taklukkan. Cukuplah ketidakberhasilan ekspedisi jihad umat Islam sebelumnya untuk menguasai kota ini sebagai bukti akan ketangguhan pertahanannya.
Namun semua ini berakhir lewat jerih pa­yah Sultan Muhammad II, yang ke­mudian diberi gelar Al-Fatih, “Sang Pe­nakluk”. Dan sejak penaklukan itulah, Konstantinopel diganti namanya menjadi Islambul, yang artinya “Kota Islam”.
Mengenai penamaan ini, dalam buku berjudul Fi Zhilali Surah at-Taubah, Dr. Abdullah Yusuf Azzam menulis bahwa, setelah membebaskan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengubah nama kota ini menjadi Islambul, yang berarti “Kota Islam”. Maka, sebetulnya bukan Istanbul. Penyebutan “Istanbul” muncul dari orang Barat, yang setelah diindo­nesia­kan menjadi “Istambul”.
Pengindonesiaan “Istanbul” menjadi “Istambul” bukannya tanpa dasar. Kon­sonan “m” dipilih karena “m” secara fo­netis (ilmu yang mempelajari bunyi ba­hasa) sejenis dengan “b”, yakni bilabial, dua bibir terkatup.
Jadi, pemilihan nama “Istambul”, se­cara ilmiah, linguistik (ilmu yang mem­pelajari bahasa), bisa dipertanggung­jawabkan. Dan bukankah pengucapan “Istambul” lebih mudah daripada “Istan­bul” karena bunyi “m” lebih dekat ke bunyi “b” daripada bunyi “n”? Ya, linguis­tik, sebagai ilmu, peranti, memang tu­gas­nya membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar