“Niscaya kelak Konstantinopel akan ditaklukkan... rajanya adalah
sebaik-baik raja dan prajuritnya sebaik-baik prajurit.”
Istambul yang kita kenal kini adalah
salah satu kota terpenting bagi identitas negara Republik Turki. Kota yang
memiliki sejarah panjang terkait riwayat penamaannya ini juga merupakan kota
pelabuhan terbesar di Turki. Kota ini memiliki keunikan geografi; sebagian
masuk benua Eropa dan sebagiannya lagi masuk benua Asia, dengan dihubungkan
oleh sebuah jembatan yang melintasi Selat Bosporus.
Istambul bermula dari sebuah kota
bernama Bizanthium, yang dibangun bangsa Yunani pada kira-kira abad ke-7 SM.
Pada tahun 330 M, kota ini dijadikan ibu kota Kekaisaran Romawi oleh Kaisar
Constantine The Great. Kota ini kemudian diubah namanya oleh sang kaisar
menjadi Konstantin, yang dalam bahasa Romawi disebut Konstantinopel
(Constantinople). Namun pada tahun 395 M, ketika Kekaisaran Romawi terpecah,
kota ini menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi Timur dengan nama Bizantium.
Sedangkan pecahan lainnya, Romawi Barat, beribu kota Roma.
Romawi Timur, yang memusatkan kekuasaannya
di Bizantium atau Konstantinopel, kemudian membangun kota tersebut dengan
berbagai bangunan monumental, seperti gereja Aya Sophia dan benteng Golden
Horn. Tak pelak lagi, bangunan-bangunan monumental tersebut serta letaknya
yang strategis sebagai pintu gerbang Asia-Eropa maupun sebaliknya menarik
perhatian dunia.
Nubuwwah Nabi SAW
Nabi Muhammad SAW mengimpikan, kelak suara adzan akan
menggema di negeri itu. Melalui isyarat yang Allah Ta’ala sampaikan kepada
beliau, di hadapan para shahabatnya, beliau bersabda, sebagaimana
diriwayatkan Imam Ahmad, “Latuftahannal
qasthanthiniyyah... falani’mal amir amiruha wa lani’mal jaisy dzalikal
jaisyu....”(Niscaya kelak Konstantinopel akan ditaklukkan...
rajanya adalah sebaik-baik raja dan prajuritnya sebaik-baik prajurit).
Delapan abad setelah itu, perkataan Nabi benar-benar
terjadi. Benteng Konstantinopel, yang terkenal kuat dan tangguh, akhirnya
dikuasai kaum muslimin. Para ulama, di antaranya Ibnu Taimiyyah, membenarkan
kabar Nabi ini sebagai dalil
min dalail an-nubuwwah, salah satu tanda bukti kebenaran kenabian
Nabi Muhammad SAW, yakni memberitakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di
masa depan.
Berkali-kali usaha menggemakan adzan
di bumi tonggak kebesaran Eropa ini dilancarkan, di antaranya di masa Muawiyah
bin Abi Sufyan. Meski upaya itu belum berhasil, Abu Ayyub Al-Anshari, sahabat
Rasulullah SAW yang gagah berani, bersumpah, jika ia wafat dalam pertempuran
itu, ia meminta agar dimakamkan tepat di bawah tembok benteng Konstantinopel,
agar jasadnya kelak menjadi saksi kemenangan yang telah dikabarkan Nabi SAW
itu.
Sebagaimana upaya yang sama dilakukan
para khalifah Bani Umayyah lainnya, di masa Abbasiyyah, misi itu juga terus
dilanjutkan. Setelah jatuhnya Baghdad 656 H/.... M, usaha menaklukkan
Konstantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur, terutama
Kerajaan Seljuk. Berkat kegigihan Dinasti Seljuk, sebagian besar wilayah
kekaisaran Roma takluk.
Kemudian beberapa usaha untuk menaklukkan
Konstantinopel juga dilakukan oleh para pemimpin Daulah Utsmaniyyah, sejak
masa raja pertama mereka, Utsman bin Ertogrul, hingga masa raja keenam, Murad
II.
Akhirnya Allah SWT mewujudkan impian
kaum muslimin untuk menaklukkan benteng tersebut melalui tangan pemimpin
ketujuh, Sultan Muhammad II, yang dikenal tangguh, shalih, dan amanah di mata
rakyatnya.
Dikisahkan, tentaranya tidak pernah
meninggalkan shalat wajib sejak baligh dan separuh dari mereka tidak pernah
meninggalkan shalat Tahajjud sejak baligh. Di samping ketaqwaan Sultan dan
tentaranya kepada Allah, mereka juga memiliki semangat jihad yang tinggi,
pantang menyerah, dan tidak takut mati. Mereka juga berhasil memainkan taktik
perang yang luar biasa.
Penaklukan ibu kota Kekaisaran Romawi
Timur itu berada langsung di bawah komando Sultan Muhammad II, yang kala itu
baru berumur 21 tahun. Sedangkan pihak lawan, yang bertahan dari gempuran
dahsyat itu, dikomandoi Kaisar Bizantium Konstantinus XI. Pengepungan berlangsung
dari Jum’at, 6 April 1453, hingga Selasa, 29 Mei 1453, berdasarkan Kalender
Julian, yang bertepatan dengan 7 Jumadal Akhirah 857, menurut perhitungan
kalender Islam, ketika kota itu akhirnya takluk di tangan Muhammad II beserta
prajuritnya.
Penaklukan Konstantinopel menandai
berakhirnya Kekaisaran Romawi, negara adidaya, yang telah berlangsung selama
hampir 1.500 tahun. Itu juga merupakan pukulan besar untuk Kristen. Di sisi
lain, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, Sultan dan pasukannya
bisa membuat kapal-kapal laut berjalan di atas daratan. Rute darat yang dilalui
kapal-kapal Turki bukanlah rute yang mudah. Selain harus melewati jalan yang
terjal, jarak yang harus ditempuh pun tidak pendek. Di samping itu, mereka juga
telah memperkenalkan teknologi peledak massal sejenis meriam atau bom dalam
peperangan kolosal itu.
Kota Islam
Konstantinopel adalah salah satu bandar
terkenal di dunia. Semenjak didirikan oleh maharaja Bizantium yakni Constantine
I, kota ini sudah menyita perhatian masyarakat dunia. Wilayahnya luas,
bangunannya besar, arsitekturnya megah dan indah, kedudukannya
strategis.
Konstantinopel juga dikenal memiliki
pertahanan militer yang terkenal kuat. Di samping benteng raksasa yang
berdiri kokoh, para prajuritnya pun selalu siap dengan berbagai macam
senjatanya menyambut setiap pasukan yang hendak menyerang benteng itu. Tidak
ketinggalan galian parit yang besar membentang mengitari benteng ini, semakin
menambah kesan bahwa kota ini mustahil ditaklukkan. Cukuplah
ketidakberhasilan ekspedisi jihad umat Islam sebelumnya untuk menguasai kota
ini sebagai bukti akan ketangguhan pertahanannya.
Namun semua ini berakhir lewat jerih payah Sultan
Muhammad II, yang kemudian diberi gelar Al-Fatih,
“Sang Penakluk”. Dan sejak penaklukan itulah, Konstantinopel diganti namanya
menjadi Islambul, yang artinya “Kota Islam”.
Mengenai penamaan ini, dalam buku berjudul Fi Zhilali Surah at-Taubah, Dr. Abdullah Yusuf Azzam
menulis bahwa, setelah membebaskan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengubah
nama kota ini menjadi Islambul, yang berarti “Kota Islam”. Maka, sebetulnya bukan
Istanbul. Penyebutan “Istanbul” muncul dari orang Barat, yang setelah diindonesiakan
menjadi “Istambul”.
Pengindonesiaan “Istanbul” menjadi
“Istambul” bukannya tanpa dasar. Konsonan “m” dipilih karena “m” secara fonetis
(ilmu yang mempelajari bunyi bahasa) sejenis dengan “b”, yakni bilabial, dua
bibir terkatup.
Jadi, pemilihan nama “Istambul”, secara
ilmiah, linguistik (ilmu yang mempelajari bahasa), bisa dipertanggungjawabkan.
Dan bukankah pengucapan “Istambul” lebih mudah daripada “Istanbul” karena
bunyi “m” lebih dekat ke bunyi “b” daripada bunyi “n”? Ya, linguistik, sebagai
ilmu, peranti, memang tugasnya membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar