Ia bagaikan seorang ibu yang khawatir kehilangan anak. Ia memantau
setiap pertempuran tentaranya, bergerak dari satu penjuru ke penjuru yang lain,
membangkitkan semangat tentaranya supaya benar-benar berjihad di jalan Allah,
dan sanggup pergi berdakwah ke berbagai pelosok dengan mata yang berlinang
keharuan untuk mengobarkan semangat umat Islam agar bangkit membela Islam.
Anda yang pernah menonton film Kingdom
of Heaven, sebuah film garapan sutradara Ridley Scott, yang diproduksi
pada tahun 2005, pasti tahu bagaimana kolosalnya film tersebut. Sang penulis
skenario dan sutradara yang mengarahkannya begitu apik menampilkan sisi-sisi
humanis beberapa tokoh di dalamnya. Sinopsis film tersebut menceritakan
bagaimana saat-saat genting terjadi di tanah Yerusalem saat Perang Salib ketiga
mencuat. Hubungan umat Islam dan Nasrani dipertaruhkan oleh beberapa oknum
terdekat di istana kekuasaan Raja Baldwin IV demi kekuasaan. Sedangkan sang
raja yang berhati lembut namun sakit-sakitan tahu betul sikap tegas kawan
sekaligus lawannya, Sultan Saladin.
Meski buatan Barat, film yang digarap
pasca-Peristiwa 9-11 ini banyak dipuji oleh pemerhati film dari dunia Islam,
lantaran penggambaran tokoh ksatria Islam di dalamnya secara obyektif dan tak
mendiskreditkan sang tokoh, terutama Sultan Shalahuddin. Orang-orang Barat
seakan memafhumi bahwa film ini dihadirkan untuk merajut kembali terkoyaknya
hubungan Barat-Timur pasca-peristiwa tersebut.
Perang Salib ketiga itu telah menempatkan sosok Saladin alias
Shalahuddin Al-Ayyubi, raja sekaligus panglima perang Kesultanan Ayyubiyyah
Mesir, sebagai sosok yang sangat dihormati kawan maupun lawan. Shalahuddin
mendapat reputasi besar di kalangan Kristen Eropa. Kisah perang dan
kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa. Di
antaranya adalah The
Talisman (1825),
karya Walter Scott, Saladin:
All-Powerful Sultan and the Uniter of Islam, karya
Sir Stanley Lane-Poole. Sebagian besar kisah panglima Shalahuddin atau Saladin
yang tersebar baik di Barat dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad
ke-12 M itu bercerita tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang
sebenarnya tak ingin menumpahkan darah.
Maulid dan Jihad
Shalahuddin bin Yusuf Al-Ayyubi lahir dari keluarga
Kurdi kota Tikrit, sisi Sungai Tigris, 140 KM barat laut kota Baghdad, pada
tahun 1137 M. Keluarganya tidak diizinkan tinggal di kota Tikrit oleh rezim
Baghdad kala itu, Bani Abbasiyah, karena dituduh pengkhianat.
Dalam perjalanan pengungsian ke Aleppo, Damaskus,
Shalahuddin dilahirkan. Tatkala kelahirannya, ayahnya berkata, “Anakku ini
dilahirkan ketika aku dalam kesusahan. Aku bimbang kelahirannya membawa
sial.” Namun siapa menyangka, bayi lelaki itu di kemudian hari menjadi
pahlawan yang agung?
Masa kecil Shalahuddin selama sepuluh tahun
dihabiskan belajar di Damaskus, di lingkungan keluarga Sultan Nuruddin
Az-Zanji, penguasa Dinasti Zanj yang memerintah Syria yang memberi perlindungan
bagi pengungsi Kurdi.
Selain belajar ilmu-ilmu Islam, Shalahuddin pun
mempelajari ilmu-ilmu kemiliteran dari pamannya, Asaduddin Syirkuh, seorang
panglima perang Turki Seljuk. Mulanya ia bekerja sebagai pasukan tentara
berkuda Sultan Nuruddin. Kemudian ia diperintahkan untuk pergi ke Mesir bersama
pamannya.
Shalahudin sempat merasa berat hati berangkat ke Mesir, karena lebih
suka di Aleppo bersama keluarganya. Namun, bersama pamannya, Shalahuddin
menjadi banyak menempa ilmu peperangan serta turut berperang pada era duwaylat (negara-negara
kecil), sehingga berhasil menguasai dan menumbangkan Kesultanan Fathimiyah,
yang berpaham Syi’ah, di Mesir.
Tatkala Shalahuddin dinobatkan menjadi sultan di
Mesir, putra Nuruddin Az-Zanji, Shalih Ismail, bersikeras menolaknya.
Pasca-wafatnya Sultan Nuruddin, Shalih Ismail bersengketa soal garis
keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan
Shalahuddin berperang dan Damaskus bisa dikuasai Shalahuddin. Shalih Ismail
terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh
pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan
Islam di Mesir kepada jalan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Perannya mengembalikan Aswaja di bumi Mesir semakin terasa lengkap tatkala
ia menggelar sayembara penulisan syair puji-pujian bagi Baginda Nabi Muhammad
SAW dan perayaan peringatan Maulid Nabi SAW secara besar-besaran. Idenya
berangkat dari usulan iparnya, Muzhaffaruddin Qatburi, bupati (atabegh)
di Irbil, Syiria. Motifnya sungguh mulia, yakni mengobarkan kembali kecintaan
kepada Rasulullah dan para sahabat serta jalan perjuangan mereka yang tak
kenal lelah untuk menegakkan kalimah Allah di atas muka bumi. Di tambah lagi,
suasana politik antara umat Islam dan Kristen tengah memanas akibat konflik
berkepanjangan di Yerusalem.
Pada mulanya gagasan Shalahuddin ditentang oleh
para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seremonial seperti itu tidak
pernah ada. Akan tetapi Shalahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat
ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Ketika Salahuddin meminta pandangan dan
persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Baghdad, ternyata Khalifah setuju. Maka,
pada ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, sebagai
penguasa tanah Haramain (Makkah dan Madinah), menyerukan kepada seluruh
jama’ah haji agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera
mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada bahwa mulai tahun
580 H/1184 M pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal dirayakan sebagai hari Maulid
Nabi dengan diisi berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan peringatan yang diadakannya pertama kali di tahun
itu adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian
bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan
diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara
pertama adalah Syaikh Ja‘far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca
masyarakat di berbagai belahan negeri pada peringatan Maulid Nabi.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan
Sultan Shalahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam
dalam Perang Salib bergelora kembali. Ia bersama pasukannya berhasil
menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 583 H/1187 M Yerusalem direbut dari
tangan bangsa Barat dan Masjid Al-Aqsha menjadi masjid kembali hingga hari ini.
Sir Stanley Lane-Poole mencatat, Shalahuddin
mengubah cara hidupnya kepada yang lebih keras, disiplin, dibarengi sifat
wara‘ dan sederhana. Ia menepikan corak hidup senang seperti kebanyakan para
penguasa, dan menjadi contoh bagi tentara dan rakyatnya, bahkan di kemudian
hari juga bagi lawan-lawannya. Ia juga menyerahkan diri sepenuhnya untuk
berjihad di jalan Allah.
Bahauddin, juru tulisnya, sebagaimana dikutip
Lane-Poole, mencatat, semangat sang panglima senantiasa berkobar untuk bicara
jihad dalam menentang tentara Salib, yang mengusir kaum muslimin dari
Yerusalem. Ia luangkan seluruh tenaganya untuk memperkuat pasukannya serta
menyeleksi kekuatan dan senjata. Jika ada yang mengajaknya berdiskusi tentang
strategi perang, ia akan penuh perhatian menyimaknya. Sehubungan dengan ini ia
lebih banyak tinggal di dalam kemah perang ketimbang duduk di istana bersama
keluarga.
Siapa saja yang menyokongnya akan mendapat
kepercayaannya. Dalam medan peperangan, ia bagaikan seorang ibu yang khawatir
kehilangan anak. Ia akan bergerak dari satu penjuru ke penjuru yang lain dalam
usaha membangkitkan semangat tentaranya supaya benar-benar berjihad di jalan
Allah. Ia sanggup pergi berdakwah ke berbagai pelosok dengan mata yang
berlinang keharuan untuk mengobarkan semangat umat Islam supaya bangkit membela
Islam. Ketika perang berlangsung, ia lebih suka berpuasa meskipun sedang sakit,
seperti pada Pertempuran Acra.
Masih menurut catatan Bahauddin, tabib pribadi
sultan pernah berkata bahwa Sultan Shalahuddin hanya berbuka dengan beberapa
suap makanan, karena tidak mau perhatiannya pada peperangan terganggu. Inilah
contoh seorang pemimpin umat dan panglima tentara yang belum kita jumpai hingga
kini.
Kemenangan Peperangan Hittin telah membuka jalan
mudah kepada Shalahuddin untuk menguasai Baitul Maqdis. Bahauddin, sang
sekretaris, mencatat bahwa Shalahuddin sangat berkepentingan untuk merebut
Baitul Maqdis, dan hajatnya itu tercapai pada hari Jum’at, 27 Rajab 583 H/1187
M, tepat pada hari Isra Mi’raj, dan ia berhasil memasuki Masjid Al-Aqsha.
Hari kemenangan ini menjadi titik awal atas
kemenangan-kemenangan berikutnya. Banyak orang, para ulama, pembesar, hingga
rakyat jelata, berdatangan dari Mesir dan Syria untuk mengucapkan selamat
kepada Shalahuddin dan merayakan kemenangannya. Gaung takbir pun menggema di
seluruh angkasa Syiria, Mesir, hingga Tanah Suci.
Kisah Perang Salib kedua dan ketiga mencatat dengan
apik kiprah sang panglima Islam yang melegenda ini dengan catatan yang membuat
kagum semua pihak. Kisah ini bukan saja ditulis oleh para penulis muslimin,
tetapi juga penulis orientalis dan Barat, yang dengan penuh hormat mengakui
kehebatannya.
Sederhana hingga Akhir Usia
Shalahuddin, sebagaimana telah disebutkan, punya
pola hidup sederhana. Ia tidak tinggal di istana megah, sebagaimana kaum
bangsawan di mana saja. Ia justru tinggal di sebuah masjid kecil bernama
“Al-Khanqah”. Dari tempat ini pula ia mengatur segala kebijakannya, baik urusan
pemerintahan maupun perang, hingga tutup usia. Dan ia sangat menghindari
korupsi, yang sering menghinggapi para raja pemenang perang.
Sultan Shalahuddin bin Yusuf Al-Ayyubi wafat pada
15 Shafar 589 H/4 Maret 1193 M di kota Damaskus. Saat jenazahnya diurus, para
pembantu dan keluarga dekatnya sempat terperangah karena ternyata sang sultan
tidak mempunyai harta berharga. Ia hanya memiliki selembar kain kafan lusuh
yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham
Nasirian (mata uang Suriah waktu itu) di dalam kotak besinya. Sehingga untuk
mengurus penguburan panglima kharismatis ini, mereka harus berutang terlebih
dahulu.
Dalam hidupnya yang tergolong singkat, 55 tahun,
Shalahuddin telah menorehkan catatan kehidupannya sebagai inspirasi kehidupan
bagi siapa saja hingga kini. Bahkan, kata Sir Stanley Lane-Poole, orang Eropa
takjub bagaimana Islam bisa melahirkan orang sebaik dia.
Satu wasiat yang disampaikannya kepada anaknya,
Az-Zahir, sebelum wafatnya, “Anakku, janganlah kau tumpahkan darah... sebab
darah yang terpercik ke muka tak akan bisa membuatmu tertidur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar