.Bismillah

.Bismillah

Kamis, 19 Februari 2015

Wafatnya Sang Penggagas Maulid

Ia bagaikan seorang ibu yang khawatir kehilangan anak. Ia memantau setiap pertempuran tentaranya, bergerak dari satu penjuru ke penjuru yang lain, membangkitkan semangat tentaranya supaya benar-benar berjihad di jalan Allah, dan sanggup pergi berdakwah ke berbagai pelosok dengan mata yang berlinang keharuan untuk mengobarkan semangat umat Islam agar bangkit membela Islam. 
Anda yang pernah menonton film Kingdom of Heaven, sebuah film garapan sutradara Ridley Scott, yang di­pro­duksi pada tahun 2005, pasti tahu ba­gaimana kolosalnya film tersebut. Sang penulis skenario dan sutradara yang mengarahkannya begitu apik menam­pil­kan sisi-sisi humanis beberapa tokoh di da­lamnya. Sinopsis film tersebut men­ceri­takan bagaimana saat-saat genting terjadi di tanah Yerusalem saat Perang Salib ketiga mencuat. Hubungan umat Islam dan Nasrani dipertaruhkan oleh beberapa oknum terdekat di istana ke­kuasaan Raja Baldwin IV demi kekuasa­an. Sedangkan sang raja yang berhati lem­but namun sakit-sakitan tahu betul sikap tegas kawan sekaligus lawannya, Sultan Saladin.

Meski buatan Barat, film yang di­garap pasca-Peristiwa 9-11 ini ba­nyak dipuji oleh pemerhati film dari dunia Islam, lantaran penggambaran tokoh ksatria Islam di dalamnya secara obyek­tif dan tak mendiskreditkan sang tokoh, terutama Sultan Shalahuddin. Orang-orang Barat seakan memafhumi bahwa film ini dihadirkan untuk merajut kembali terkoyaknya hubungan Barat-Timur pas­ca-peristiwa tersebut.
Perang Salib ketiga itu telah menem­patkan sosok Saladin alias Shalahuddin Al-Ayyubi, raja sekaligus panglima pe­rang Kesultanan Ayyubiyyah Mesir, se­bagai sosok yang sangat dihormati ka­wan maupun lawan. Shalahuddin men­da­pat reputasi besar di kalangan Kristen Eropa. Kisah perang dan kepemimpin­an­nya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa. Di antaranya adalah The Talisman (1825), karya Walter Scott, Saladin: All-Powerful Sultan and the Uniter of Islam, karya Sir Stanley Lane-Poole. Sebagian besar kisah panglima Shalahuddin atau Saladin yang tersebar baik di Barat dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke-12 M itu ber­cerita tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah.

Maulid dan Jihad
Shalahuddin bin Yusuf Al-Ayyubi lahir dari keluarga Kurdi kota Tikrit, sisi Sungai Tigris, 140 KM barat laut kota Baghdad, pada tahun 1137 M. Keluarga­nya tidak diizinkan tinggal di kota Tikrit oleh rezim Baghdad kala itu, Bani Ab­basiyah, karena dituduh pengkhianat.
Dalam perjalanan pengungsian ke Aleppo, Damaskus, Shalahuddin dilahir­kan. Tatkala kelahirannya, ayahnya ber­kata, “Anakku ini dilahirkan ketika aku da­lam kesusahan. Aku bimbang kelahir­an­nya membawa sial.” Namun siapa me­nyangka, bayi lelaki itu di kemudian hari menjadi pahlawan yang agung?
Masa kecil Shalahuddin selama se­puluh tahun dihabiskan belajar di Da­maskus, di lingkungan keluarga Sultan Nuruddin Az-Zanji, penguasa Dinasti Zanj yang memerintah Syria yang mem­beri perlindungan bagi pengungsi Kurdi.
Selain belajar ilmu-ilmu Islam, Sha­lahuddin pun mempelajari ilmu-ilmu ke­militeran dari pamannya, Asaduddin Syirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Mulanya ia bekerja sebagai pa­sukan tentara berkuda Sultan Nuruddin. Kemudian ia diperintahkan untuk pergi ke Mesir bersama pamannya.
Shalahudin sempat merasa berat hati berangkat ke Mesir, karena lebih suka di Aleppo bersama keluarganya. Namun, bersama pamannya, Shalahud­din menjadi banyak menempa ilmu pe­perangan serta turut berperang pada era duwaylat (negara-negara kecil), sehing­ga berhasil menguasai dan menum­bang­kan Kesultanan Fathimiyah, yang berpaham Syi’ah, di Mesir.
Tatkala Shalahuddin dinobatkan menjadi sultan di Mesir, putra Nuruddin Az-Zanji, Shalih Ismail, bersikeras me­nolaknya. Pasca-wafatnya Sultan Nu­rud­din, Shalih Ismail bersengketa soal ga­ris keturunan terhadap hak kekhali­fahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan Shalah­uddin berperang dan Damas­kus bisa dikuasai Shalahuddin. Shalih Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun 1181. Shalahuddin memim­pin Syria sekaligus Mesir serta mengem­balikan Islam di Mesir kepada jalan Ah­lussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Perannya mengembalikan Aswaja di bumi Mesir semakin terasa lengkap tat­kala ia menggelar sayembara penulisan syair puji-pujian bagi Baginda Nabi Mu­hammad SAW dan perayaan peringatan Maulid Nabi SAW secara besar-besaran. Idenya berangkat dari usulan iparnya, Muzhaffaruddin Qatburi, bupati (ata­begh) di Irbil, Syiria. Motifnya sungguh mulia, yakni mengobarkan kembali ke­cintaan kepada Rasulullah dan para sa­habat serta jalan perjuangan mereka yang tak kenal lelah untuk menegakkan kalimah Allah di atas muka bumi. Di tambah lagi, suasana politik antara umat Islam dan Kristen tengah memanas aki­bat konflik berkepanjangan di Yerusalem.
Pada mulanya gagasan Shalahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seremonial seperti itu tidak pernah ada. Akan tetapi Shalahuddin menegaskan bahwa pe­rayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bu­kan perayaan yang bersifat ritual, se­hingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Ketika Salahuddin meminta pan­dang­­an dan persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Baghdad, ternyata Khalifah setuju. Maka, pada ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, sebagai penguasa tanah Hara­main (Makkah dan Madinah), menyeru­kan kepada seluruh jama’ah haji agar jika kembali ke kampung halaman ma­sing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada bahwa mulai tahun 580 H/1184 M pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi de­ngan diisi berbagai kegiatan yang mem­bangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan peringatan yang diadakannya pertama kali di tahun itu adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-puji­an bagi Nabi dengan bahasa yang se­indah mungkin. Seluruh ulama dan sas­tra­wan diundang untuk mengikuti kom­pe­tisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja‘far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di berbagai belahan negeri pada peringatan Maulid Nabi.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Shalah­uddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam dalam Perang Sa­lib bergelora kembali. Ia bersama pasuk­annya berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 583 H/1187 M Yerusalem direbut dari tangan bangsa Barat dan Masjid Al-Aqsha menjadi masjid kembali hingga hari ini.
Sir Stanley Lane-Poole mencatat, Shalahuddin mengubah cara hidupnya ke­pada yang lebih keras, disiplin, di­barengi sifat wara‘ dan sederhana. Ia menepikan corak hidup senang seperti kebanyakan para penguasa, dan men­jadi contoh bagi tentara dan rakyatnya, bahkan di kemudian hari juga bagi la­wan-lawannya. Ia juga menyerahkan diri sepenuhnya untuk berjihad di jalan Allah.
Bahauddin, juru tulisnya, sebagai­mana dikutip Lane-Poole, mencatat, se­mangat sang panglima senantiasa ber­kobar untuk bicara jihad dalam menen­tang tentara Salib, yang mengusir kaum muslimin dari Yerusalem. Ia luangkan seluruh tenaganya untuk memperkuat pasukannya serta menyeleksi kekuatan dan senjata. Jika ada yang mengajaknya berdiskusi tentang strategi perang, ia akan penuh perhatian menyimaknya. Sehubungan dengan ini ia lebih banyak tinggal di dalam kemah perang ketim­bang duduk di istana bersama keluarga.
Siapa saja yang menyokongnya akan mendapat kepercayaannya. Dalam medan peperangan, ia bagaikan se­orang ibu yang khawatir kehilangan anak. Ia akan bergerak dari satu penjuru ke penjuru yang lain dalam usaha mem­bangkitkan semangat tentaranya supaya benar-benar berjihad di jalan Allah. Ia sanggup pergi berdakwah ke berbagai pelosok dengan mata yang berlinang keharuan untuk mengobarkan semangat umat Islam supaya bangkit membela Islam. Ketika perang berlangsung, ia lebih suka berpuasa meskipun sedang sakit, seperti pada Pertempuran Acra.
Masih menurut catatan Bahauddin, tabib pribadi sultan pernah berkata bah­wa Sultan Shalahuddin hanya berbuka dengan beberapa suap makanan, kare­na tidak mau perhatiannya pada pepe­rangan terganggu. Inilah contoh seorang pemimpin umat dan panglima tentara yang belum kita jumpai hingga kini.
Kemenangan Peperangan Hittin te­lah membuka jalan mudah kepada Shalahuddin untuk menguasai Baitul Maqdis. Bahauddin, sang sekretaris, mencatat bahwa Shalahuddin sangat berkepentingan untuk merebut Baitul Maqdis, dan hajatnya itu tercapai pada hari Jum’at, 27 Rajab 583 H/1187 M, tepat pada hari Isra Mi’raj, dan ia berhasil me­masuki Masjid Al-Aqsha.
Hari kemenangan ini menjadi titik awal atas kemenangan-kemenangan berikutnya. Banyak orang, para ulama, pem­besar, hingga rakyat jelata, berda­tangan dari Mesir dan Syria untuk meng­ucapkan selamat kepada Shalahuddin dan merayakan kemenangannya. Gaung takbir pun menggema di seluruh angka­sa Syiria, Mesir, hingga Tanah Suci.
Kisah Perang Salib kedua dan ketiga mencatat dengan apik kiprah sang pang­lima Islam yang melegenda ini dengan catatan yang membuat kagum semua pihak. Kisah ini bukan saja ditulis oleh para penulis muslimin, tetapi juga penu­lis orientalis dan Barat, yang dengan penuh hormat mengakui kehebatannya.

Sederhana hingga Akhir Usia
Shalahuddin, sebagaimana telah di­sebutkan, punya pola hidup sederhana. Ia tidak tinggal di istana megah, sebagai­mana kaum bangsawan di mana saja. Ia justru tinggal di sebuah masjid kecil ber­nama “Al-Khanqah”. Dari tempat ini pula ia mengatur segala kebijakannya, baik urusan pemerintahan maupun pe­rang, hingga tutup usia. Dan ia sangat meng­hindari korupsi, yang sering meng­hinggapi para raja pemenang perang.
Sultan Shalahuddin bin Yusuf Al-Ayyubi wafat pada 15 Shafar 589 H/4 Maret 1193 M di kota Damaskus. Saat jenazahnya diurus, para pembantu dan keluarga dekatnya sempat terperangah ka­rena ternyata sang sultan tidak mem­punyai harta berharga. Ia hanya memiliki selembar kain kafan lusuh yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham Nasirian (mata uang Suriah waktu itu) di dalam kotak besi­nya. Sehingga untuk mengurus penguburan panglima kharismatis ini, me­reka harus berutang terlebih dahulu.
Dalam hidupnya yang tergolong sing­kat, 55 tahun, Shalahuddin telah me­norehkan catatan kehidupannya sebagai inspirasi kehidupan bagi siapa saja hing­ga kini. Bahkan, kata Sir Stanley Lane-Poole, orang Eropa takjub bagaimana Islam bisa melahirkan orang sebaik dia.
Satu wasiat yang disampaikannya kepada anaknya, Az-Zahir, sebelum wa­fatnya, “Anakku, janganlah kau tumpah­kan darah... sebab darah yang terpercik ke muka tak akan bisa membuatmu ter­tidur.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar