.Bismillah

.Bismillah

Kamis, 29 Januari 2015

Hati-hatilah Engkau Terhadap Tipu Daya Dunia

Beberapa ucapan Nabi Isa a.s pemimpin orang-orang yang zuhud, tentang betapa hinanya dunia ini.
Nabi Isa as berkata: “Dunia adalah ibarat sebuah jembatan, maka cukuplah bagimu hanya melewatinya saja, janganlah engkau memakmurkannya.” Wahai pencari dunia, yang ingin mendapatkan kebaikan dengannya, berpalingmu darinya adalah perbuatan yang lebih baik dan lebih utama. Rasa cinta kepada dunia dan akhirat Tidak akan pernah berkumpul di hati seorang mukmin, sebagaimana air dan api tidak akan pernah berkumpul dalam satu wadah.”
Nabi Isa as berkata: “Dunia adalah materi yang ada, orang baik maupun orang jahat memakan darinya. Sedangkan akhirat adalah janji yang pasti, dan kekuasaan mutlak ada ditangan Allah SWT yang maha berkuasa.”
Beliau as berkata: “Janganlah dunia ini kalian jadikan sebagai Tuhanmu sehingga ia akan memperbudakmu, simpanlah hartamu di tempat yamg tidak akan pernah bisa hilang, karena pemilik harta dunia khawatir akan kehilangan hartanya, pemilik harta akhirat tidak akan merasa takut kehilangan hartanya.”
Beliau as juga berkata: “Lauk paukku adalah lapar, pakaian dalamku adalah rasa takut (kepada Allah SWT), pakaian luarku adalah bulu domba, pemanasku di musim dingin adalah sinar matahari, lenteraku adalah bulan, kendaraanku adalah kedua kakiku, makanan dan buah-buahanku adalah apa yang tumbuh diatas bumi ini, aku bermalam sedang aku tidak memiliki apa-apa, dan di pagi hari aku tidak memiliki apa-apa, dan tidak aku dapati di muka bumi ini orang yang lebih kaya dariku.”
Beliau as berkata: “Aku heran terhadap orang yang lalai sedang ia tidak dilalaikan, terhadap orang yang menginginkan dunia sedang kematian memburunya, dan terhadap orang yang membangun istana sedang kuburan adalah tempat tinggalnya, sesungguhnya rasa takut kepada Allah SWT dan cinta kepada surga firdaus dapat menjauhkan seseorang dari kemewahan dunia, menimbulkan kesabaran terhadap kesulitan-kesulitan, dan sesungguhnya memakan gandum dan tidur di tempat sampah bersama anjing-anjing sangatlah sedikit bagi para pencari firdaus.”
Beliau as berkata: “Wahai orang-orang Hawary, aku telah membalikkan dunia di hadapan kalian, maka janganlah kalian membangkitkannya setelahku.”
Mereka bertanya kepada beliau: “Mengapa engkau dapat berjalan diatas air, sedangkan kami tidak?” Beliau menjawab: “Bagaimana kedudukan dinar dan dirham dimata kalian?” Mereka menjawab: “sangat berharga dan bernilai tinggi,” beliau berkata: “Bagiku kedudukannya dihadapanku sama halnya dengan batu dan tanah.”
Suatu hari Beliau sedang tertidur dengan menjadikan batu sebagai bantalnya, maka datanglah iblis dan berkata kepadanya: “Wahai Isa engkau telah bersandar kepada dunia, lalu dilemparkannya batu itu ke arah iblis itu sambil berkata: “Aku tidak memiliki harta apapun selain batu ini.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau mengalami keadaan hujan yang sangat deras dengan disertai kilat dan suara petir yang amat keras, maka didirikanlah untuk Beliau a.s sebuah kemah, setelah jadi lalu Beliau a.s bermaksud untuk masuk kedalamnya, ternyata didapatinya seorang wanita telah masuk terlebih dahulu didalamnya maka ditinggalkannya kemah tersebut, kemudian Beliau a.s melihat ada sebuah gua, maka Beliau a.s segera mendatanginya, ternyata didalamnya telah ada seekor binatang buas, lalu beliau berdoa: “Ya Allah SWT, Engkau telah menjadikan tempat berteduh bagi setiap makhluk-Mu sedang Engkau tidak menjadikan tempat berteduh bagiku, maka Allah SWT mewahyukan kepadanya: ‘Tempatmu adalah disisi-Ku, Aku akan menikahkanmu dengan beribu-ribu bidadari, dan Aku akan menjamu penduduk surga selama ribuan tahun di hari pernikahanmu nanti.”
Beliau as berkata: “Wahai anak Adam, jika engkau mencari dunia sesuatu yang dapat mencukupimu, maka sedikit darinya cukup bagimu. Jika engkau menginginkan darinya melebihi kebutuhanmu, niscaya dunia seisinya tidak cukup bagimu. Janganlah kalian membinasakan diri hanya karena mencari dunia. Berusahalah agar mendapatkan kemenangan dengan meninggalkan apa yang ada didalamnya, dahulu kalian memasukinya dalam keadaan telanjang, dan kelak kalian akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang pula, mintalah kepada Allah SWT rezeki hari demi hari, dan ketahuilah bahwa Allah SWT telah menjadikan dunia dalam bentuk yang sedikit, dan yang tersisa darinya adalah sedikit dari sesuatu yang sedikit, semua yang jernih telah habis diminum yang tertinggal hanyalah sisa yang keruh.
Dan ketahuilah bahwa dunia adalah tempat hukuman dan tipuan, maka jadilah kalian di dunia ini seperti seseorang yang sedang mengobati lukanya, ia bersabar atas pedihnya obat karena ia mengharap kesembuhan dan keselamatan dari penyakit itu. jadi, janganlah kalian tertipu dengan pandangan dunia dari akhirat yang belum nampak di mata kalian.
Beliau a.s juga berkata: “Kalian sungguh mengherankan, kalian bekerja untuk mencari dunia sedangkan kalian diberi rezeki didalamnya tanpa mengerjakan apapun. Dan kalian tidak bekerja untuk akhirat sedangkan kalian tidak akan diberi rezeki didalamnya kecuali dengan amal perbuatan.”
Suatu saat dunia menjelma dihadapan beliau dalam bentuk seorang wanita yang memakai berbagai macam perhiasan, beliau berkata kepadanya: “Apa engkau mempunyai suami?” Ia menjawab: “Ya, sangat banyak sekali,” Beliau berkata: “apa mereka semuanya menceraikanmu, atau semuanya engkau bunuh?!” Ia menjawab: “Mereka semuanya aku bunuh.” Beliau bertanya: “Apa engkau pernah sedih atas seorang dari mereka?” Ia menjawab: “Mereka bersedih atasku sedang aku tidak bersedih atas mereka, mereka menangisiku sedang aku tidak pernah menangisi mereka,” Beliau berkata: “Sungguh mengherankan suami-suamimu yang masih ada, bagaimana mereka tidak mengambil pelajaran dari suami-suamimu yang terdahulu!!”
Beliau pernah singgah pada suatu kaum yang sedang beribadah kepada Allah SWT, ada seorang diantara mereka yang tertidur, lalu beliau berkala: “Wahai fulan. bangunlah dan beribadahlah kepada Allah SWT bersama teman-temanmu, lalu ia berkata kepadanya: “aku telah menyembah-Nya dengan cara yang lebih utama dari cara beribadah mereka, aku telah zuhud akan dunia, beliau berkata kepadanya: “Tidurlah dengan nyenyak karena engkau mengungguli mereka yang beribadah.”
Beliau as. suatu ketika pernah ditanya tentang para wali Allah SWT yang tidak merasa takut ataupun sedih atas apa yang menimpa mereka, Beliau a.s mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang memandang dunia dari sisi batinnya di kala manusia memandang pada dhahirnya, mereka lebih mementingkan kehidupan setelah dunia ini berakhir dikala orang-orang lebih mementingkan kesenang-annya sewaktu hidup di dunia, mereka mematikan darinya apa saja yang mereka takutkan akan mematikan mereka, mereka meninggalkannya apa saja yang mereka ketahui bahwa ia akan meninggalkan mereka, tak seorang pun yang memiliki dunia lalu menawarkan kepada mereka melainkan mereka selalu menolaknya, dan tidaklah sese-orang yang terbujuk oleh kemewahan dunia datang untuk membujuk mereka melainkan mereka merendahkannya, bagi mereka dunia merupakan benda yang telah usang hingga mereka tidak memperbaharuinya, ia telah rusak dihadapan mereka dan mereka tidak akan membangunnya kembali, telah mati di hati mereka hingga mereka tidak akan menghidupkannya, justru malah mereka hancurkan sedangkan yang mereka bangun hanyalah akhirat mereka, mereka jual dunia demi untuk membeli sesuatu yang kekal bagi mereka, mereka memandang penduduknya sebagai orang-orang yang kehilangan akal dan tertimpa bencana, dan mereka tidak menyaksikan kedamaian dari apa yang mereka harapkan, dan tidak pula ketakutan terhadap apa yang mereka khawatirkan.”
Dengan ini telah selesai kitab Risalatul Mudzaharah Maal Ikhwanul Muhibbin Min Ahli Khair Wa Din, dan aku tidak menamakannya dengan nama ini melainkan karena aku meletakkannya atas dasar saling mengingatkan sesama mereka. Semoga Allah SWT memberikan kepadaku dan kepada mereka petunjuk bagi kami dan menjaga kami dari kejahatan diri kami.
Semua yang telah aku sebutkan dalam risalah ini, baik itu hadits-hadits maupun atsar, aku telah menukilnya dari kitab-kitab shahih yang dijadikan pedoman, dan aku tidak menggunakan pasal diantara hadits-hadits yang aku sebutkan di permulaan penutup dan aku menjadikannya seakan-akan empat hadits atau lima yang semuanya kira-kira 20 hadits, aku tidak melakukan hal itu melainkan karena aku memandangnya lebih singkat dan lebih dekat dalam membuahkan hasil.
الحمد لله الذي له ما في السماوات وما في الأرض وله الحمد في الآخرة وهو الحكيم الخبير . يعلم ما يلج في الأرض وما يخرج منها وما ينزل من السماء وما يعرج فيها وهو الرحيم الغفور
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar dari padanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.”
(Qs. Saba':l-2)
Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam beserta keluarga dan sahabatnya sampai hari kiamat, dan begitu pula semoga kesejahteraan tercurahkan bagi para utusan Aliah SWT, dan segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam.
Sumber : Terj. Risalatul Mudzakarah Maal Ikhwanul Muhibbin Min Ahli Khair Wad-Din Karya al-Alamah al-Habib Abdullah bin Alwi al Haddad

Selasa, 27 Januari 2015

Ulasan Habib Umar bin Hafidz Mengenai 'Khilafah'

Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.

Ulasan Habib Umar Bin Hafidz
Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pan­dang­­an atas wajibnya menegakkan khi­lafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat Islam.
Mengenai yang pertama, perlu dite­gas­kan bahwa kata “khilafah”, bila dikait­kan dengan agama dan sya­riat, makna­nya tak hanya terba­tas pada konteks ke­kuasaan de­ngan segala penerapan hu­kum-hu­kum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.
Al-Qur’an menggunakan kata ini, bah­kan untuk orang yang ber­buat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat, ”Maka datanglah se­sudah mereka, peng­ganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan meng­ikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kese­satan.” (QS 19: 59). Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang se­belumnya, namun mereka tidak meng­ikuti prinsip dan perilaku ge­nerasi sebe­lumnya. Sehingga, makna khilafah ada­lah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apa pun.
Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bah­wa khilafah yang diagungkan dan di­nyata­kan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ru­haniah, keagamaan dan ketuhanan, bu­kan sebatas otoritas politik yang meng­­atur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tu­gas mengemban amanah sesuai ka­pa­­sitas dan kemampuan seseorang, da­lam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang di­singgung Allah dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam, ke bumi, ”Maka jika datang ke­pa­da­mu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa  mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan ter­sesat dan tak akan celaka.” (QS 20: 123).
Mengamalkan tuntunan Allah, me­lak­­sanakan perintah, dan menghindari la­rangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi be­lum ada bangsa apa pun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya di­sertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia men­jalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum ada­nya bentuk peme­rintahan dan kekua­saan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluar­ga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Me­rekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra Adam AS, mengganti­kannya memegang tampuk khilafah. Ia me­nerima kenabian dan amanat untuk me­laksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah merupakan tugas masing-ma­sing diri kita. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggal­kan­nya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

”Melepas” Khilafah
Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muham­mad, khilafah adalah terwujudnya pene­rapan hukum secara umum, karena ke­kuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. Be­liau kabarkan, khilafah ini hanya ber­langsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas wak­tu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hi­lang, beliau tidak memberi perintah, “Mem­berontaklah kepada para pengua­sa, perbaiki berbagai masalah, berjuang­lah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 ta­hun itu!” Rasulullah tidak memerin­tah­kan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengke­raman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menye­butnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ’ala ash-Shahihain karya Al-Hakim, disebut­kan, Rasulullah SAW bersabda, “Khila­fah sepeninggalku 30 tahun, kemudian men­jadi kerajaan” (HR Ahmad).
Mari kita cermati sabda beliau yang me­nyebutkan secara jelas periode khi­lafah ini. Ternyata, Ali KW dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan ini adalah masa kepemimpinan Al-Hasan bin Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, per­sis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dza­habi: Setelah Al-Hasan mundur se­bagai khalifah, ada orang berkata ke­padanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda meng­inginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat ber­ada di tanganku. Mereka mengikuti pe­rintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku mening­galkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan per­tumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapat­kan khilafah dengan keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak meng­inginkan khilafah itu.” Kisah ini me­miliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kisah ini terdapat sebuah pen­jelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah kha­lifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin Ali. Dengan me­nyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak ber­arti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurang­an pada posisinya sebagai pengganti ka­keknya, Muhammad SAW. Justru de­ngan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhi­lafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.
Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, ”Sungguh anakku (cucu­ku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu be­sar kaum muslimin dengan perantara­nya.” (HR Al-Bukhari).

Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, ”Masa setelah itu ke­kuasaan berada di tangan para pe­nguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka ti­dak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Apa yang engkau (ya Rasulullah) perin­tahkan kepada kami? Haruskah kami mem­buat kekhalifahan baru, pemerin­tah­an lain, dan berjuang untuk menying­kir­kan mereka?”
Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kali­an).” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Siapa yang menegaskan hal ini?
Ini bukan gagasan kelompok-kelom­pok tertentu dalam Islam. Ini adalah arah­­an dari pemegang kenabian dan ke­rasul­an, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.
Lalu, sampai kapan harus patuh ke­pada pemimpin?
”Sampai yang menjadi pemimpin kali­an adalah seorang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bah­wa dia seorang muslim. Atau, orang yang me­musuhi Allah dan Rasul-Nya, menging­kari ajaran-ajaran pokok agama yang su­dah pasti. Ia secara terang-te­rangan me­musuhi agama dan melang­gar­nya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Hing­ga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dalam riwayat yang lain, ”Selagi mereka masih mene­gak­kan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi). Pada riwayat lainnya, ”Berikanlah ke­pada mereka apa yang menjadi hak me­reka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka su­dah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian).” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi).
Batasan-batasan itulah yang Rasul­ullah sampaikan kepada kita.
Memahami Realitas yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, curahkanlah rah­­mat kepada para khalifah/peng­ganti­ku.”
Ketika beliau ditanya, siapa para kha­­lifah itu, beliau tidak menggunakan pe­ngertian khilafah seperti saat beliau ber­sabda “Khilafah setelahku berlang­sung selama 30 tahun”, tapi beliau meng­guna­kan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda, ”Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meri­wayat­kan hadits-haditsku dan mengajar­kannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan, orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya ke­pada orang lain adalah para khalifah, para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal ulul amri yang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang di­anugerahi ilmu syari’at dan menjadi pe­mikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat, ”… dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenar­annya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil-amri).” (QS 4: 83). Menurut pendapat para mufassir, yang dimaksud ulil-amri di sini adalah ulama. Sebagaimana juga dalam firman Allah, ”… taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil-amri di antara kalian.” (QS 4: 59).
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at ada­lah, ”Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi me­reka.” (HR Ath-Thabarani).
Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap. Pertama, meninggalkan khila­fah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. Kedua, menolak untuk me­­ninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau me­nyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak me­nimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan Rasulullah SAW ke­pada Sayyidina Utsman.
Perhatikanlah, Rasulullah SAW me­muji cucunya, Al-Hasan, karena rela me­lepas kekhilafahan lahiriah demi kebaik­an kaum muslimin. Di sisi lain beliau ber­sabda kepada Sayyidina Utsman RA, ”Me­reka hendak melepas baju yang di­pakaikan oleh Allah kepadamu. Jangan tu­ruti mereka hingga engkau menyu­sul­ku.” (HR Ath-Thabarani).
Ada beberapa orang yang datang ke­pada Utsman RA, memintanya untuk mun­dur dari khalifah. Ternyata, mereka bu­kan orang yang layak untuk meng­gan­ti­kan beliau. Sementara itu, keka­cau­an bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacau­an justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Me­reka akan mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya ber­beda. Maka, dalam kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemau­an mereka hingga akhirnya mereka mem­­bunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbu­nuh dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan tetesan darahnya yang per­tama me­ngenai ayat ”Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengeta­hui.” (QS 2: 137). Sementara doa terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, ”Ya Allah, persatukan umat Mu­hammad. Ya Allah, persatukan umat Mu­hammad.” (Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).
Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kon­disi genting, perhatianmu ma­sih tertuju pada umat Muhammad. Se­andainya saat itu engkau berdoa agar mereka tidak ber­satu, niscaya mereka tak akan pernah ber­satu selamanya.”
Ternyata, di detik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pi­kir­an­nya adalah umat.  Ia memohon ke­pada Allah agar mempersatukan umat se­peninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, per­satukan umat Muhammad” sampai  dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mem­permainkan agama.
Khilafah bagi setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar melak­sanakan fungsi khalifah hanya yang ter­kait pada diri kita saja. Setiap kita memi­liki amanat menjadi penerus atau khali­fah Ra­sulullah, dalam mata, telinga, li­dah, ke­lamin, perut, tangan, kaki, dan hati­nya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah. Semua ini ada­lah hal yang harus engkau pelihara. Eng­kau pe­mimpin semua ini, semua urusan­nya di­serahkan kepadamu. Maka, jadi­lah pe­nerus yang baik dari Rasulullah da­lam me­melihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan me­nerapkan hukum Allah.
Di wilayah lain, engkau memiliki ke­kuasaan dalam hal-hal yang terkait de­ngan urusan keluarga, teman, dan te­tangga. Juga, dalam hal yang terkait de­ngan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Lak­sanakan kewajiban khilafah dalam se­mua itu.
Menegakkan syari’at, dalam bentuk apa pun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya,  dalam arti yang umum. Se­dangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Ra­sulullah SAW, yang dinyatakan berlang­sung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah itu, kerajaan yang meng­gigit. Setelah itu, kekuasaan yang dik­tator. Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya khilafah kembali se­perti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitakan Rasulul­lah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan perintah-perintah Ra­sulullah terhadap umatnya: bagai­mana mengatur, apa yang harus dilaku­kan, bagaimana seharusnya mengha­dapi ber­bagai persoalan yang terjadi, mengha­dapi para penguasa, mengha­dapi rakyat, dan bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.
Betapapun, jika misalnya ada ke­sem­­patan bagi seseorang untuk mem­bela aga­ma Allah, dalam bentuk apa pun, dan dalam sisi kehidupan apa pun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksana­kan kewajiban itu, namun apa yang ia laku­kan itu ternyata menimbul­kan efek ne­­gatif yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum mus­limin, tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatu­kan umat Islam diperlukan langkah-lang­kah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sa­yang terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.
Insan-insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan ke­kuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bah­wa ia diracun, yang mengantar­kan­nya pada kesyahidan.
Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Mua­wiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khi­lafah lahiriah ini hingga wafat. Ia me­milih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebenaran, mem­berikan bimbingan, mengajar, memberi pe­tunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Mu­hammad SAW.
Kalau kita bercermin pada yang di­laku­kan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagai­mana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi ”Khalifah” Yazid)?
Beberapa hal harus dipahami me­nge­­nai keberangkatannya ke Irak. Di antara­nya, pertama, adanya surat ajak­an yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang un­tuk mendirikan sebuah pe­merintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata me­reka menipunya, tidak mem­percayai­nya, mengkhianatinya, dan meninggal­kan­nya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan peng­­khianatan ini. Namun, mati syahid tam­pak di depan mata. Sepeninggal ka­kaknya, Al-Hasan, giliran ia yang me­nyim­pan rindu berjumpa kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun  juga tak ingin melam­paui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin menga­jari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah un­tuk patuh kepada penguasa, kendati­pun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para pengua­sa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam ber­bagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.
Jadi, gerakan Al-Husain adalah un­tuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami sing­gung da­lam pembahasan tadi, ia me­mang hen­dak menerjunkan dirinya ke dalam kesya­hidan. Ia begitu rindu untuk bertemu ka­keknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Ra­sulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas ke­se­suaian perkataan dan tindakan yang benar.
Maka, Sayyidina Husain memberi­kan penjelasan mengenai perbedaan berba­gai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk me­nyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluar­ganya gugur sebagai syahid da­lam se­hari. Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Mu­hammad SAW.
Khilafah agung Nabawiyah yang bu­kan sekadar kekuasaan lahiriah itu ke­mudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak me­lakukan shalat. Dua pipinya bergaris hi­tam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia ber­juang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia mengajak kaum muslimin untuk mem­bai’atnya? Apa ia membuat ren­cana ku­deta terhadap penguasa yang ada?
Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa ten­tang agama? Aku bersaksi bahwa ia ter­masuk orang yang paling alim mengenai aga­ma. Demi Allah, ia bukan orang bo­doh. Di masanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.
Namun demikian, ia menyibukkan hi­dupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur’an, menangis, berse­de­­kah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menying­gung urusan kekuasaan. Ia juga tidak per­nah memaki-maki, melaknat, dan meng­u­capkan pernyataan-per­nya­taan buruk ke­pada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Inilah khalifah sejati. Inilah yang di­lakukan generasi terbaik umat ini. Me­reka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak ahlul bayt, sahabat, tabi’in, dan para peng­ikut mereka.
Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua me­ne­­ladani ayah-ayahnya dalam kemulia­an dan jalan ini.
Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan la­hiri­ah, masih banyak pemuka sahabat. Apa pan­dangan mereka? Adakah mereka me­nyatakan ”Kami bersama Anda, kami ber­perang bersama Anda untuk Allah. Se­karang Anda meninggalkan kami dan me­nyerahkan khilafah kepada orang lain”? Tidak. Al-Hasan patuh (pada tun­tunan agama), mereka pun ikut patuh.
Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekua­saan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah di antara me­reka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan te­ladan para penda­hulu dan ajaran Ra­sulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para imam: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhila­fahan yang lurus atau hidup di tengah-te­ngah kekuasaan kerajaan? Apakah me­reka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menying­kirkan orang-orang yang memiliki kekua­saan itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, men­jaga syari’at di tengah-tengah umat, de­ngan segala kesungguhan dan daya upa­ya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan haki­kat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa meng­amal­kannya. Mereka adalah kha­lifah terbaik dari Rasulullah SAW dan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Peran Khilafah para Nabi
Begitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al-Qur’an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.
Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini!? Ya. Ia khalifah se­lama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ter­nyata kekuasaan bukan berada di ta­ngannya, tapi di tangan orang-orang kafir.
Lalu, apakah tugas khilafah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di ta­ngan Nabi Nuh dan pengikutnya. Pada­hal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun, segelintir orang ini me­miliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di Kapal Nuh. Itu ada­lah balasan atas kesabaran dan ke­tabahannya selama 950 tahun melak­sanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.
Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan ke­kuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari per­tama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari Allah. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ke­tika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.
Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang kha­lifah Allah. Bahkan, termasuk rasul ulul ’azmi, termasuk utusan Allah yang isti­mewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim. Ia ber­ada di bawah kekuasaan Namrudz bebe­rapa kali. Sampai ketika mukjizat­nya mun­cul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi kese­lamatan baginya. Waktu itu, kekuasaan masih di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim ber­ada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak me­mikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah SWT meno­longnya.
Inilah poin terpenting dalam tema khi­­lafah, juga pandangan para salaf menge­nai hal itu. Sekian banyak nabi pun mele­wati keadaan ini.
Begitulah pengertian khilafah. Pe­nger­tian yang memiliki kaitan erat de­ngan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita ti­dak me­langgar prinsip umum dan prin­sip khusus khilafah, juga tidak mengha­langi sebab-sebab datangnya pertolong­an Allah de­ngan hal-hal yang diembus­kan musuh-musuh Allah yang ingin me­rusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-bu­daya buruk yang bertentang­an dengan syari’at ke tengah-tengah kita.
Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan ber­kah kepada kita dan kepada para ulama di sini, juga ulama-ulama lain di Indone­sia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih men­jaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganu­gerahi taufiq dan ampunan.
Hikmah yang Terpendam
Pandangan utuh perihal tema khila­fah diulas Habib Umar Bin Hafidz de­ngan amat gamblang. Di antara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhi­lafahan yang lurus setelah 30 tahun pas­ca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pe­sankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat dita’wil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari redaksi-redak­si kalimat yang terkait kekhilafahan da­lam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satu pun yang meng­galang gerakan khusus untuk mendiri­kan khilafah yang mencontoh kekhi­lafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menying­kirkan orang-orang yang memiliki ke­kuasaan itu?”
Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan para dai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai ber­kata-kata lewat karya-karyanya dan eng­gan berusaha keras demi tegaknya khi­lafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang ter­pen­ting)? Tentu bukan demikian. Mere­ka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bu­kan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.
Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar psi­kologis semacam itu. Pemicunya, aku­mulasi ketidakpercayaan terhadap pe­nyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kun­jung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat: bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?
Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kan­dungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Di sinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal ke­ilmu­an, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukur­an keberhasilan dakwah seseorang, bu­kan yang lainnya. Rasulullah SAW ber­sabda, ”Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, te­tapi Allah melihat kepada amal dan hati­mu.” (HR Ibnu Majah).
Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sem­pat menyinggung, “Lalu pada akhir­nya khilafah kembali seperti ajaran Ra­sulullah SAW. Ini sesuatu yang akan ter­jadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh mak­sud ”akan” di situ, apakah relatif ter­hadap masa dirinya ataukah masa Ra­sulullah. Tampak di sini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah SAW itu adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa men­jelang hari Kiamat kelak. Yang ingin Ha­bib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapa­pun, ”Kabar tentang khilafah ini tidak ber­tentangan dengan perintah-perintah Ra­sulullah terhadap umatnya....”
Pelajaran dari umat-umat terdahulu me­nunjukkan bahwa, karena kesung­guh­­an mereka mengikuti petunjuk sya­ri’atnya dan melaksanakan tugas khila­fah ruha­niyah yang diemban setiap ma­nusia da­lam lingkupnya masing-masing dan men­jadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya se­lama 950 tahun.
Serangkain tulisan dalam Laporan Khusus kali ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, nahdliyin, dan unsur-unsur umat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal-hal yang nyata di tengah masyarakat se­cara ikhlas, lillahi ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan ma­syara­katnya, bukan institusi kenegaraannya.
”Dan sekiranya penduduk negeri ber­iman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah) akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” – QS Al-A’raf: 96.
Tim alKisah, disarikan dari mau’izhah Habib Umar Bin Hafidz di depan Majelis Muwashalah bayna al-’Ulama wa al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009


Sabtu, 24 Januari 2015

Tanggapan Hb. Munzir Tentang Karikatur dari Denmark

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Kepada Saudara saudaraku sekalian yang saya muliakan, Allah mencurahkan hakikat kecintaan Nabi SAW pada kita dengan sempurna.

Mengenai Karikatur itu:


1. Kita Gembira dan bangga dengan bangkitnya semangat muslimin di seluruh dunia yang membela Nabi kita SAW dari penghinaan mereka.
2. Kita berkewajiban mengambil tindakan, sebaiknya bukan dengan demo dan ribut tak menentu, walaupun saya sama sekali tak menyalahkan tindakan demo itu, namun ada yg lebih bermanfaat dari sekedar Demo, yaitu dengan memperjelas tentang siapakah sosok Nabi Muhammad SAW pada keluarga kita, teman teman kita, dan masyarakat kita yang masih awam tentang siapa Nabi Muhammad SAW, bagaimana bimbingannya, bagaimana kelembutannya, tidak sebagaimana yang difitnahkan oleh mereka, yang mungkin hal seperti itu telah pula meracuni sebagian pemikiran saudara-saudara/ teman-teman kita muslimin yang masih awam, bahwa islam itu anarkis dan lain sebagainya.
3. Kejadian perbuatan Denmark ini bisa jadi merupakan kesengajaan untuk memancing kemarahan muslimin dengan banyak makna :
– Mereka ingin tahu sampai kemanakah kekuatan muslimin membela Islam, kini seluruh muslimin muncul dan terlihat. Terlihatlah kepala-kepala dan tokoh muslim yang mempunyai massa, yang berkuasa, dan terlihatlah jumlah massanya, terlihatlah negara negara dan wilayah wilayah yang sangat kuat pembelaannya. 

Sebagaimana seorang nelayan menaburkan umpan disungai, maka ratusan ikan akan naik ke permukaan, maka terlihatlah wilayah mana yang banyak ikan besarnya dan jenisnya, ikan-ikan besar akan keluar dari persembunyiannya didasar sungai,

hingga mereka bisa perhitungkan dan mengintip kelemahan mereka, dan kemudian menjaringnya.
Tidak sulit mencari kekuatan muslimin yang tersembunyi, diberi umpan mereka akan muncul ke permukaan.
– Mereka ingin menunjukkan pada dunia awam, bahwa Islam benar-benar agama anarkis, dengan mengamuknya para demonstran, lalu kaum muslimin garis keras memperbanyak ledakan bom dimana mana. 
Dan lalu mereka leluasa menghancurkan dan memerangi muslimin dengan alasan memusnahkan teroris, membatasi kegiatan pesantren, majelis taklim diawasi, semua yang berpakaian muslim dimusuhi, dicurigai, diperiksa dengan ketat, Dai-dai dan kyai atau ulama ditangkap dan di interogasi dst.
– atau mungkin mereka memang benar-benar orang awam, dan tak mengetahui siapa Nabi Muhammad SAW.
4. Kejadian penghinaan atas Nabi kita (SAW) ini adalah cambuk bagi kita agar lebih giat lagi mengenalkan kemuliaan Muhammad SAW, keindahan Muhammad SAW, kesempurnaan ajaran Muhammad SAW, dan kalau ada kemampuan berbahasa Inggris yang baik, maka kita mengirimkannya ke website-website mereka mengenai keberadaan siapakah Nabi Muhammad SAW.


KESIMPULAN
Berhati-hatilah dalam melangkah Wahai Para Pecinta Rasulullah SAW…., kita sama sekali tidak gentar, dan kita rela mati membela Sang Nabi SAW, namun kita harus pelit dan kikir dengan membuang buang energi atau suara, atau waktu, atau harta atau bahkan nyawa, hanya untuk pembelaan yang sia sia.
Penghinaan atas Nabi kita SAW bukanlah baru terjadi saat ini, tapi telah terjadi sejak beliau dibangkitkan sebagai Rasul SAW 14 abad yang silam, maka dari zaman ke zaman kelompok pecinta Beliau SAW membela Nabi mereka dimuka bumi, Kita ingin setiap kejap hidup kita dan setiap butir harta kita adalah perjuangan membela sang Nabi SAW dengan pembelaan yang bermanfaat.
Pembela Rasul SAW bagi dirinya, dan di rumahnya, dan pada keluarganya, di sekolahnya, di pekerjaannya, di masyarakatnya, dengan mengenalkan kelembutan Ilahi, menghidupkan sunnah Sang Nabi SAW, inilah Pasukan Muhammad SAW.. Bukan pasukan anarkis dan kekerasan, tapi pasukan yang berjiwa Muhammad SAW, sebagai Rahmatan Lil’alamiin.
Demikianlah tugas kita semua dan tugas seluruh muslimin, yaitu untuk menjadi penerus dakwah Imam kita, Nabi Muhammad SAW. Dengan Instruksi Imam kita SAW yang jelas kepada kita dan seluruh ummatnya, “Sampaikanlah (bimbingan) dariku, walaupun hanya satu ayat”.
Semoga Allah Memperbanyak dan mempermudah bangkitnya semangat Muhammad SAW pada sanubariku dan sanubari kalian serta sanubari muslimin di dunia.. amiin.. amiin.. amiin.., Demi Kemuliaan 10 Muharram yang padanya Allah SWT menyelamatkan Musa AS dan ummatnya dari kejaran Fir’aun, dan pada hari 10 Muharram pula Allah SWT menyelamatkan Bahtera Nuh AS di daratan setelah banjir yang melanda dunia, maka semoga dengan 10 Muharram 1427 H ini pula terbangkitkan Semangat Muhammad SAW, pada sanubari penduduk permukaan Bumi ini, Maka Shalawat serta salam atas Imam seluruh penduduk Bumi dan Imam dihari Kiamat, Sayyidina Muhammad dan atas keluarga dan sahabat serta penerusnya hingga akhir zaman, dan Segala Puji selalu atas Rabbul ‘alamin

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Jihad

Merupakan pemahaman yang buta, bila sekelompok dari kita mengatakan bahwa jihad dalam peperangan lebih mulia daripada jihad dengan hawa nafsu, sebab seluruh kehidupan kita siang dan malam adalah berperang melawan hawa nafsu, bahkan jihad dalam peperangan pun harus dengan melawan hawa nafsu, apakah mereka menginginkan jihad dalam peperangan itu tidak melawan hawa nafsu? jadi mengikuti hawa nafsu?. Mengikuti hawa nafsu mengangkat pedang dan membunuh kesana kemari.. itukah makna jihad dalam benak mereka? Nauzubillah dari pemahaman jihad seperti ini.

Jihad adalah memerangi kebatilan dengan sabar, tidak membunuh anak - anak dan wanita, tidak memukul wajah dengan tangan apalagi dengan senjata, tidak membunuh bila lawan telah menyerah, tidak menyiksa dan masih banyak lagi aturan aturan jihad melawan hawa nafsu justru ditengah peperangan.., lalu bagaimana sekelompok dari mereka mengatakan bahwa jihad peperangan lebih mulia daripada jihad melawan hawa nafsu, sedangkan mulai syahadat hingga wafat kita semua berjihad melawan hawa nafsu.

Shalat tepat waktu adalah jihad melawan hawa nafsu, berbuat baik pada orang tua pun demikian, dan itu jauh lebih mulia dari Jihad dalam peperangan.. Sebagaimana Hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud yg bertanya pada Rasul saw, : amal apakah yang paling afdhal?, beliau menjawab : “Shalat tepat waktu”, lalu Ibn Mas’ud bertanya lagi, lalu apa Ya Rasulullah (saw)”, beliau saw menjawab : “Berbakti pada kedua orang tua”, lalu Ibn Mas’ud bertanya lagi, lalu apa Ya Rasulullah ?, beliau saw menjawab : “Jihad di jalan Allah”. (HR Muslim No.85),

Demikian pula hadits dengan makna yang sama dalam (Shahih Bukhari No.503), dan demikian pula hadits dengan makna yang sama dalam (Shahih Bukhari No 2630) Hadits inipun didukung dengan Hadits lainnya sebagaimana diriwayatkan ketika seorang lelaki hijrah meninggalkan kesyirikan menuju Jihad di jalan Allah, dan Rasul saw bertanya kepadanya, apakah telah diizinkan oleh ayah ibunya untuk berjihad?, dan lelaki itu menjawab : “tidak”, maka Rasul saw bersabda : “Kembalilah, mohon izin pada mereka, bila mereka izinkan maka berjihadlah, bila tidak maka berbaktilah kepada keduanya” (HR Muslim No.1035)..

Riwayat Abdullah bin Umar ra yang berkata : “datanglah seorang lelaki kepada Rasul saw dan memohon izin untuk berjihad, maka berkatalah Rasul saw : “apakah ayah ibumu masih hidup??, ia menjawab : ya. Maka Rasul saw bersabda : “maka berjihadlah dengan berbakti pada mereka (Shahih Bukhari No.2842).

Rasul saw didatangi seorang lelaki yang mengatakan bahwa Istrinya akan ibadah haji tanpa muhrimnya, sedangkan ia telah mencatat dirinya untuk ikut Jihad, maka Rasul saw memerintahkan agar lelaki itu meninggalkan Jihad dan mengantar Istrinya beribadah Haji (Shahih Bukhari No.2844).

Dan masih banyak lagi hadits – hadits shahih yang mendukung pemahaman bahwa melawan hawa nafsu jauh lebih mulia dari sekedar peperangan dengan senjata, yang justru peperangan (jihad) itu adalah sebagian daripada memerangi hawa nafsu.

Wallahu alam


Dikutip dari Buku Kenalilah Aqidahmu 2

Daulah Islamiyyah

Sabda Rasulullah saw :
منْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang ditindas oleh penguasanya maka hendaknya ia bersabar, sungguh barangsiapa yang keluar dari perintah sultan (penguasa) sejengkal saja maka ia mati dalam kematian jahiliyah” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw :
جَاهِلِيَّةً مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً
“Barangsiapa yang melihat hal pada penguasanya sesuatu yang tidak disukainya maka hendaknya ia bersabar, sungguh barangsiapa yang keluar dari jamaah sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia wafat dengan kematian jahiliyah” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Berkata zubair bin Adiy ra : kami mendatangi Anas bin Malik mengadukan kekejian Hajjaj dan kejahatannya pada kami, maka berkata Anas ra : “Bersabarlah kalian, karena tiadalah datang masa kecuali yang sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian akan menemui Tuhan kalian, kudengar ini dari Nabi kalian (Muhammad saw)” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw : “dengar dan patuhlah bagi seorang muslim selama ia tak diperintah berbuat maksiat, bila ia diperintah berbuat maksiat maka tak perlu dengar dan patuh” (Shahih Bukhari Bab Ahkam)

Kesimpulannya adalah Rasulullah saw dan kesemua para Imam dan Muhaddits ahlussunnah waljamaah tidak satupun menyerukan pemberontakan dan kudeta, selama pemimpin mereka muslim maka jika diperintah maksiat mereka tidak perlu taat, bila diperintah selain dosa maka mereka taati.

Sebagaimana dimasa merekapun terdapat kepemimpinan yg dhalim, walau berkedok dengan nama “KHALIFAH” namun mereka dhalim, diantaranya Hajjaj yang sering membantai dan menyiksa rakyatnya, namun ketika mereka mengadukan pada Anas ra, maka mereka diperintahkan bersabar, bukan diperintahkan merebut Khilafah dengan alasan khalifah itu dhalim.
Negeri kita ini muslim, pemimpinnya muslim, menteri – menterinya mayoritas muslimin, mayoritas masyarakatnya muslimin, maka apalagi yang mesti ditegakkan?, ini adalah khilafah islamiyah (kepemimpinan islam), adakah presiden kita melarang shalat?, adakah pemimpin kita melarang puasa ramadhan? Mengenai kesalahan kesalahan lainnya selama ia seorang muslim maka kita diperintah oleh Rasul saw untuk bersabar. Dan para Imam dan Muhaddits itu tak satupun menyerukan kudeta dan penjatuhan kekuasaan dari seorang pemimpin muslim.

Ringkasnya saudaraku, berteriak - teriak meneriakkan khilafah islamiyah adalah perbuatan terburu - buru, berdakwahlah pada muslimin sedikit demi sedikit hingga dalam bertetangga, di tempat kerja, di masyarakat, maka pelahan akan muncul Ketua RT yang mencintai syariah dan sunnah. Maka berlanjut dengan Ketua RW yang terpilih adalah Ketua RW yang mencintai syariah dan sunnah, Ketua RW yang mendukung majelis taklim dan melarang panggung maksiat, Ketua RW yang tak mau menandatangani pembangunan diskotek dan gereja, dan bila dakwah di masyarakat makin meluas akan sampai terpilihlah lurah yang demikian pula, lalu meningkat ke Bupati dan seterusnya. Ini akan tercapai dengan pelahan lahan tetapi pasti, dan negara akan ikut apa keinginan mayoritas rakyatnya, demikian pula televisi, radio, majalah, dan kesemuanya, tak ada diskotek bila tak ada pengunjungnya, tak ada miras dan narkoba bila tak ada yang membelinya, tak ada blue film bila tak ada yang maumenontonnya, ini semua akan sangat mudah.

Karena khilafah islamiyah dengan Syariah Islam bila ditegakkan sekarang maka yang akan menolaknya adalah muslimin sendiri, mereka tak mau kehilangan diskoteknya, mereka tak mau kehilangan mirasnya, mereka tak mau menutup auratnya, nah.., maka bagi yang berkeinginan menegakkan Khilafah Islamiyah agar meratakan shaf dan terjun berdakwah mengenalkan sunnah dan Nabi Muhammad Saw sebagai idola muslimin.

Bukan berteriak - teriak khilafah islamiyah lalu menuding muslimin lainnya sesat karena menolak khilafah dari golongan mereka, lalu saling bunuh antara muslimin demi kepemimpinan dari fihak mereka.

Sungguh metode Nabi saw ini sangat strategis dengan strategi keamanan yang sempurna, Rasul saw mengetahui akan banyak penguasa muslim yang dholim, namun Rasul saw memerintahkan kita bersabar atas mereka, kenapa?, karena jika muslimin berontak maka mereka akan dibantai penguasa yang dholim itu, maka orang - orang baik dan ulama akan jadi sasarannya, padahal orang - orang baik, orang shalih, dan ulama sangat diharapkan menyiapkan generasi baru yang baik untuk kelak menggantikan penguasa dholim itu, namun hal itu menjadi sulit dan mustahil

Dikutip dari Buku Kenalilah Aqidahmu 2

Kamis, 22 Januari 2015

Hukum Isbal

Isbal (tidak membuat pakaian menjela/memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasul SAW dalam sholat dan diluar shalat.

Rasul saw bersabda : "Barangsiapa yg menyeret-nyeret pakaiannya (menjela pakaiannya/jubahnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat (murka)".
Lalu berkata Abubakar shiddiq ra : Wahai Rasulullah…, pakaianku menjela.., Maka berkata Rasul saw :"Sungguh kau memperbuat itu bukan karena sombong" (Shahih Bukhari Bab Manaqib).

Berkata AL Hafidh Imam Ibn Hajar mengenai syarah hadits ini : "Kesaksian Nabi SAW menafikan makruh perbuatan itu pada Abu Bakar ra" (Fathul Baari bisyarh shahih Bukhari Bab Manaqib).

Jelaslah sudah bahwa perbuatan itu tidak makruh apalagi haram, kecuali jika diperbuat karena sombong, di masa itu bisa dibedakan antara orang kaya dengan orang miskin adalah dilihat dari bajunya, baju para buruh dan fuqara adalah pendek hingga bawah lutut diatas mata kaki, karena mereka pekerja, tak mau pakaiannya terkena debu saat bekerja. Dan para orang kaya dan bangsawan memanjangkan jubahnya menjela ke tanah, karena mereka selalu berjalan diatas permadani dan kereta, jarang menginjak tanah,


Maka jadilah semacam hal yang bergengsi, memakai pakaian panjang demi memamerkan kekayaannya, dan itu tak terjadi lagi masa kini, orang kaya dan miskin sama saja, tak bisa dibedakan dengan pakaian yang menjela.

Jelas dibuktikan dengan riwayat shahih Bukhari diatas, bahwa terang-terangan Abu Bakar Shiddiq ra berpakaian seperti itu tanpa sengaja, namun Rasul saw menjawab : "Kau berbuat itu bukan karena sombong".

Berarti yg dilarang adalah jika karena sombong.