Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, perlu dipahami bahwa
khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi
Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan
dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan
lahiriah.
Ulasan Habib Umar Bin Hafidz
Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat
penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum
Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah
ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat Islam.
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa
kata “khilafah”, bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya
terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum
publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih
luas.
Al-Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang
yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi
yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat, ”Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS 19: 59). Jadi, mereka
adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namun
mereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga,
makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks
apa pun.
Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga
perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai
keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah
khilafah ruhaniah, keagamaan dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik
yang mengatur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas
mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks
menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada
makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung Allah dalam Al-Qur’an, ketika
meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam, ke bumi, ”Maka jika datang kepadamu
petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan
tersesat dan tak akan celaka.” (QS 20: 123).
Mengamalkan tuntunan Allah, melaksanakan
perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah
ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada
bangsa apa pun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa.
Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya
sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan
dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu,
yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra
Adam AS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan
amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita.
Tak ada alasan bagi siapa pun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan
dan meninggalkannya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah
(kekuasaan).
”Melepas” Khilafah
Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan
agung Nabi Muhammad, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum,
karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat
petunjuk. Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung
sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau
sebagai nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah
usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah,
“Memberontaklah kepada para penguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah
untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun
itu!” Rasulullah tidak memerintahkan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya
beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam
sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya
Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak
’ala ash-Shahihain karya
Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30
tahun, kemudian menjadi kerajaan” (HR Ahmad).
Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan
secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, Ali KW dibunuh pada bulan
Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai
30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan ini adalah masa
kepemimpinan Al-Hasan bin Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah
pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan
Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat
agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal
rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan
shahih oleh Adz-Dzahabi: Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang
berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku
meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku.
Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan
berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah)
karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama
muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan
keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah
itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para
perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa
mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati.
Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri
Al-Hasan bin Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti
warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada
posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan demikian,
Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah
SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian
terhadap umat.
Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan
Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, ”Sungguh anakku (cucuku) ini adalah
seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan
perantaranya.” (HR Al-Bukhari).
Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi
mengabarkan, ”Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para penguasa yang
berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak
teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Apa yang engkau
(ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan
baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?”
Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat
(kepada pemimpin kalian).” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Siapa yang menegaskan hal ini?
Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam
Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang
menerima wahyu dari Allah SWT.
Lalu, sampai kapan harus patuh kepada pemimpin?
”Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah
seorang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia seorang
muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari
ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Ia secara terang-terangan memusuhi
agama dan melanggarnya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Hingga kalian
melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan
Al-Baihaqi). Dalam riwayat yang lain, ”Selagi mereka masih menegakkan shalat
di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi). Pada riwayat
lainnya, ”Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah
kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku
adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian).” (HR Al-Bukhari,
Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi).
Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan
kepada kita.
Memahami Realitas yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berdoa, ”Ya
Allah, curahkanlah rahmat kepada para khalifah/penggantiku.”
Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu,
beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau bersabda
“Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau menggunakan
pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda,
”Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditsku
dan mengajarkannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan, orang-orang yang memiliki
perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain
adalah para khalifah, para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para
nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari
lafal ulul amri yang
disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi
ilmu syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya,
ayat, ”… dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil-amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil-amri).” (QS 4: 83). Menurut pendapat
para mufassir, yang dimaksud ulil-amri di sini adalah ulama. Sebagaimana juga
dalam firman Allah, ”… taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil-amri di
antara kalian.” (QS 4: 59).
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya
dalam syari’at adalah, ”Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi
mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi
kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR Ath-Thabarani).
Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa
melakukan pemilahan terhadap dua sikap. Pertama, meninggalkan khilafah untuk
menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka.
Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari
orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan
catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan
Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.
Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya,
Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum
muslimin. Di sisi lain beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA, ”Mereka
hendak melepas baju yang dipakaikan oleh Allah kepadamu. Jangan turuti mereka
hingga engkau menyusulku.” (HR Ath-Thabarani).
Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA,
memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang
layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan
ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru
timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan
mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya berbeda. Maka, dalam kondisi seperti
itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemauan
mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah
sebagai orang yang berdakwah. Ia terbunuh dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan
tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat ”Maka Allah akan menjaga engkau
dari mereka, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:
137). Sementara doa terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, ”Ya Allah,
persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukan umat Muhammad.” (Kisah ini
dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).
Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat
kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi
genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya saat itu
engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu
selamanya.”
Ternyata, di detik-detik ancaman mati dan
pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada
Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan
umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan
kekuasaan menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.
Khilafah bagi setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar melaksanakan fungsi
khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja. Setiap kita memiliki amanat
menjadi penerus atau khalifah Rasulullah, dalam mata, telinga, lidah, kelamin,
perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah.
Semua ini adalah hal yang harus engkau pelihara. Engkau pemimpin semua ini,
semua urusannya diserahkan kepadamu. Maka, jadilah penerus yang baik dari
Rasulullah dalam memelihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan
menerapkan hukum Allah.
Di wilayah lain, engkau memiliki kekuasaan dalam
hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga, teman, dan tetangga. Juga, dalam
hal yang terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran
dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan kewajiban khilafah
dalam semua itu.
Menegakkan syari’at, dalam bentuk apa pun,
merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum. Sedangkan
khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Rasulullah SAW,
yang dinyatakan berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah
itu, kerajaan yang menggigit. Setelah itu, kekuasaan yang diktator. Inilah
yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya khilafah
kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan
telah diberitakan Rasulullah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan
dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: bagaimana mengatur, apa
yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai persoalan
yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan bagaimana
bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.
Betapapun, jika misalnya ada kesempatan bagi
seseorang untuk membela agama Allah, dalam bentuk apa pun, dan dalam sisi
kehidupan apa pun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan
kewajiban itu, namun apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif
yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin,
tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat Islam
diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sayang
terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini
pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.
Insan-insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga
rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari
dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia.
Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada
kesyahidan.
Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan
kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah
ini hingga wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam
menyampaikan kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk,
berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang
telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah,
Muhammad SAW.
Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya,
Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa
Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak
(menghadapi ”Khalifah” Yazid)?
Beberapa hal harus dipahami mengenai
keberangkatannya ke Irak. Di antaranya, pertama, adanya surat ajakan yang
dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan
yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya,
mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini.
Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan,
giliran ia yang menyimpan rindu berjumpa kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan
umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah,
namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh
kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru
bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita
tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa
itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal.
Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.
Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan
prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam
pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan.
Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan
adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita.
Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Rasulullah, mereka
adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas kesesuaian perkataan dan
tindakan yang benar.
Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan
mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan
nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian
banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu menjadi
tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.
Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar
kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia
benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh
dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam
karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu,
apa yang ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia
mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta
terhadap penguasa yang ada?
Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku
bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah,
ia bukan orang bodoh. Di masanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.
Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan
memperbanyak shalat, membaca Al-Qur’an, menangis, bersedekah, dan berbuat
kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan
kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan
pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan
saudara-saudaranya.
Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan
generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak ahlul
bayt, sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah
itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya
dalam kemuliaan dan jalan ini.
Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka
tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih
banyak pemuka sahabat. Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan ”Kami
bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda
meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain”? Tidak. Al-Hasan
patuh (pada tuntunan agama), mereka pun ikut patuh.
Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekuasaan dipegang
oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu,
ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali
ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah di antara mereka yang membuat
kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan teladan para pendahulu dan ajaran Rasulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para imam: Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup
di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah
kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus membuat
rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di
tengah-tengah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka
mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at
kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya. Mereka
adalah khalifah terbaik dari Rasulullah SAW dan saat itu terdapat begitu
banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Peran Khilafah para Nabi
Begitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan,
demikian pula yang kita lihat dalam Al-Qur’an dan dijalani para nabi di
masa-masa lampau.
Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi
ini!? Ya. Ia khalifah selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di
tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata kekuasaan
bukan berada di tangannya, tapi di tangan orang-orang kafir.
Lalu, apakah tugas khilafah dari Allah hidup atau
mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di tangan Nabi Nuh
dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun,
segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah
memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada
di Kapal Nuh. Itu adalah balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950
tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.
Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia
mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari pertama,
kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun
beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga
memikul khilafah dari Allah. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun,
sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala
tentaranya.
Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa,
Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah,
ia adalah seorang khalifah Allah. Bahkan, termasuk rasul ulul ’azmi, termasuk
utusan Allah yang istimewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim. Ia berada di bawah
kekuasaan Namrudz beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar
dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya. Waktu
itu, kekuasaan masih di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di bawah
kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga
Allah SWT menolongnya.
Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga
pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati
keadaan ini.
Begitulah pengertian khilafah. Pengertian yang
memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri
kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak melanggar
prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab
datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh Allah
yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya buruk yang
bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.
Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir
dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita
dan kepada para ulama di sini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di
negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama
dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganugerahi taufiq dan
ampunan.
Hikmah yang Terpendam
Pandangan utuh perihal tema khilafah diulas Habib
Umar Bin Hafidz dengan amat gamblang. Di antara yang dapat kita petik dari
ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhilafahan yang lurus
setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi
apa yang beliau pesankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa
itu sudah tak lagi dapat dita’wil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari redaksi-redaksi kalimat yang
terkait kekhilafahan dalam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan,
nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satu pun yang menggalang gerakan
khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh kekhilafahan yang lurus,
Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua
hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah
kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana
untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?”
Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna
dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan para
dai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya
yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu
hanya orang-orang yang pandai berkata-kata lewat karya-karyanya dan enggan
berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)? Tentu bukan
demikian. Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul
bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.
Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang
biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya
mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar psikologis semacam
itu. Pemicunya, akumulasi ketidakpercayaan terhadap penyelesaian berbagai
problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kunjung selesai. Dalam
kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda
diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran
sebagai satu-satunya solusi umat: bila khilafah berdiri, insya Allah semua
urusan beres. Siapa tak tergiur?
Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang
biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan. Sebab barangkali
karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Di sinilah pentingnya
penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan, kesungguhan,
kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang
meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukuran keberhasilan
dakwah seseorang, bukan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya
Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah melihat
kepada amal dan hatimu.” (HR Ibnu Majah).
Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sempat
menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah
SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.”
Ia tak memperjelas lebih jauh maksud ”akan” di situ, apakah relatif terhadap
masa dirinya ataukah masa Rasulullah. Tampak di sini bahwa ia pun tak terjebak
dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti
ajaran Rasulullah SAW itu adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz
ataukah pada masa menjelang hari Kiamat kelak. Yang ingin Habib Umar
tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, ”Kabar
tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah
terhadap umatnya....”
Pelajaran dari umat-umat terdahulu menunjukkan
bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk syari’atnya dan
melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap manusia dalam
lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu
pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan
dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir
orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.
Serangkain tulisan dalam Laporan Khusus kali
ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah,
seperti kalangan Alawiyyin, nahdliyin, dan unsur-unsur umat lainnya di
lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini.
Intinya, terus berbuat dan berbuat hal-hal yang nyata di tengah masyarakat secara
ikhlas, lillahi ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan masyarakatnya,
bukan institusi kenegaraannya.
”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa,
pasti Kami (Allah) akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit
dan bumi.” – QS Al-A’raf: 96.
Tim alKisah, disarikan dari
mau’izhah Habib Umar Bin Hafidz di depan Majelis Muwashalah bayna al-’Ulama wa
al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar