.Bismillah

.Bismillah

Selasa, 27 Januari 2015

Ulasan Habib Umar bin Hafidz Mengenai 'Khilafah'

Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.

Ulasan Habib Umar Bin Hafidz
Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pan­dang­­an atas wajibnya menegakkan khi­lafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat Islam.
Mengenai yang pertama, perlu dite­gas­kan bahwa kata “khilafah”, bila dikait­kan dengan agama dan sya­riat, makna­nya tak hanya terba­tas pada konteks ke­kuasaan de­ngan segala penerapan hu­kum-hu­kum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.
Al-Qur’an menggunakan kata ini, bah­kan untuk orang yang ber­buat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat, ”Maka datanglah se­sudah mereka, peng­ganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan meng­ikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kese­satan.” (QS 19: 59). Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang se­belumnya, namun mereka tidak meng­ikuti prinsip dan perilaku ge­nerasi sebe­lumnya. Sehingga, makna khilafah ada­lah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apa pun.
Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bah­wa khilafah yang diagungkan dan di­nyata­kan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS 2: 30), adalah khilafah ru­haniah, keagamaan dan ketuhanan, bu­kan sebatas otoritas politik yang meng­­atur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat dengan tu­gas mengemban amanah sesuai ka­pa­­sitas dan kemampuan seseorang, da­lam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang di­singgung Allah dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam, ke bumi, ”Maka jika datang ke­pa­da­mu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa  mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan ter­sesat dan tak akan celaka.” (QS 20: 123).
Mengamalkan tuntunan Allah, me­lak­­sanakan perintah, dan menghindari la­rangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi be­lum ada bangsa apa pun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya di­sertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia men­jalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum ada­nya bentuk peme­rintahan dan kekua­saan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluar­ga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Me­rekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra Adam AS, mengganti­kannya memegang tampuk khilafah. Ia me­nerima kenabian dan amanat untuk me­laksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah merupakan tugas masing-ma­sing diri kita. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggal­kan­nya lantaran ketiadaan simbol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

”Melepas” Khilafah
Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muham­mad, khilafah adalah terwujudnya pene­rapan hukum secara umum, karena ke­kuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. Be­liau kabarkan, khilafah ini hanya ber­langsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas wak­tu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hi­lang, beliau tidak memberi perintah, “Mem­berontaklah kepada para pengua­sa, perbaiki berbagai masalah, berjuang­lah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 ta­hun itu!” Rasulullah tidak memerin­tah­kan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengke­raman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menye­butnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ’ala ash-Shahihain karya Al-Hakim, disebut­kan, Rasulullah SAW bersabda, “Khila­fah sepeninggalku 30 tahun, kemudian men­jadi kerajaan” (HR Ahmad).
Mari kita cermati sabda beliau yang me­nyebutkan secara jelas periode khi­lafah ini. Ternyata, Ali KW dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan ini adalah masa kepemimpinan Al-Hasan bin Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, per­sis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dza­habi: Setelah Al-Hasan mundur se­bagai khalifah, ada orang berkata ke­padanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda meng­inginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat ber­ada di tanganku. Mereka mengikuti pe­rintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku mening­galkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan per­tumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapat­kan khilafah dengan keputusasaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak meng­inginkan khilafah itu.” Kisah ini me­miliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kisah ini terdapat sebuah pen­jelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah kha­lifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin Ali. Dengan me­nyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak ber­arti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurang­an pada posisinya sebagai pengganti ka­keknya, Muhammad SAW. Justru de­ngan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhi­lafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.
Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, ”Sungguh anakku (cucu­ku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu be­sar kaum muslimin dengan perantara­nya.” (HR Al-Bukhari).

Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, ”Masa setelah itu ke­kuasaan berada di tangan para pe­nguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka ti­dak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Apa yang engkau (ya Rasulullah) perin­tahkan kepada kami? Haruskah kami mem­buat kekhalifahan baru, pemerin­tah­an lain, dan berjuang untuk menying­kir­kan mereka?”
Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kali­an).” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Siapa yang menegaskan hal ini?
Ini bukan gagasan kelompok-kelom­pok tertentu dalam Islam. Ini adalah arah­­an dari pemegang kenabian dan ke­rasul­an, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.
Lalu, sampai kapan harus patuh ke­pada pemimpin?
”Sampai yang menjadi pemimpin kali­an adalah seorang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bah­wa dia seorang muslim. Atau, orang yang me­musuhi Allah dan Rasul-Nya, menging­kari ajaran-ajaran pokok agama yang su­dah pasti. Ia secara terang-te­rangan me­musuhi agama dan melang­gar­nya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Hing­ga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dalam riwayat yang lain, ”Selagi mereka masih mene­gak­kan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi). Pada riwayat lainnya, ”Berikanlah ke­pada mereka apa yang menjadi hak me­reka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka su­dah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian).” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi).
Batasan-batasan itulah yang Rasul­ullah sampaikan kepada kita.
Memahami Realitas yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, curahkanlah rah­­mat kepada para khalifah/peng­ganti­ku.”
Ketika beliau ditanya, siapa para kha­­lifah itu, beliau tidak menggunakan pe­ngertian khilafah seperti saat beliau ber­sabda “Khilafah setelahku berlang­sung selama 30 tahun”, tapi beliau meng­guna­kan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda, ”Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meri­wayat­kan hadits-haditsku dan mengajar­kannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan, orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya ke­pada orang lain adalah para khalifah, para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal ulul amri yang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang di­anugerahi ilmu syari’at dan menjadi pe­mikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat, ”… dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenar­annya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil-amri).” (QS 4: 83). Menurut pendapat para mufassir, yang dimaksud ulil-amri di sini adalah ulama. Sebagaimana juga dalam firman Allah, ”… taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil-amri di antara kalian.” (QS 4: 59).
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at ada­lah, ”Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi me­reka.” (HR Ath-Thabarani).
Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap. Pertama, meninggalkan khila­fah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. Kedua, menolak untuk me­­ninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau me­nyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak me­nimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan Rasulullah SAW ke­pada Sayyidina Utsman.
Perhatikanlah, Rasulullah SAW me­muji cucunya, Al-Hasan, karena rela me­lepas kekhilafahan lahiriah demi kebaik­an kaum muslimin. Di sisi lain beliau ber­sabda kepada Sayyidina Utsman RA, ”Me­reka hendak melepas baju yang di­pakaikan oleh Allah kepadamu. Jangan tu­ruti mereka hingga engkau menyu­sul­ku.” (HR Ath-Thabarani).
Ada beberapa orang yang datang ke­pada Utsman RA, memintanya untuk mun­dur dari khalifah. Ternyata, mereka bu­kan orang yang layak untuk meng­gan­ti­kan beliau. Sementara itu, keka­cau­an bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacau­an justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Me­reka akan mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya ber­beda. Maka, dalam kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemau­an mereka hingga akhirnya mereka mem­­bunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbu­nuh dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan tetesan darahnya yang per­tama me­ngenai ayat ”Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengeta­hui.” (QS 2: 137). Sementara doa terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, ”Ya Allah, persatukan umat Mu­hammad. Ya Allah, persatukan umat Mu­hammad.” (Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).
Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kon­disi genting, perhatianmu ma­sih tertuju pada umat Muhammad. Se­andainya saat itu engkau berdoa agar mereka tidak ber­satu, niscaya mereka tak akan pernah ber­satu selamanya.”
Ternyata, di detik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pi­kir­an­nya adalah umat.  Ia memohon ke­pada Allah agar mempersatukan umat se­peninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, per­satukan umat Muhammad” sampai  dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mem­permainkan agama.
Khilafah bagi setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar melak­sanakan fungsi khalifah hanya yang ter­kait pada diri kita saja. Setiap kita memi­liki amanat menjadi penerus atau khali­fah Ra­sulullah, dalam mata, telinga, li­dah, ke­lamin, perut, tangan, kaki, dan hati­nya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah. Semua ini ada­lah hal yang harus engkau pelihara. Eng­kau pe­mimpin semua ini, semua urusan­nya di­serahkan kepadamu. Maka, jadi­lah pe­nerus yang baik dari Rasulullah da­lam me­melihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan me­nerapkan hukum Allah.
Di wilayah lain, engkau memiliki ke­kuasaan dalam hal-hal yang terkait de­ngan urusan keluarga, teman, dan te­tangga. Juga, dalam hal yang terkait de­ngan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Lak­sanakan kewajiban khilafah dalam se­mua itu.
Menegakkan syari’at, dalam bentuk apa pun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya,  dalam arti yang umum. Se­dangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Ra­sulullah SAW, yang dinyatakan berlang­sung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah itu, kerajaan yang meng­gigit. Setelah itu, kekuasaan yang dik­tator. Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya khilafah kembali se­perti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitakan Rasulul­lah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan perintah-perintah Ra­sulullah terhadap umatnya: bagai­mana mengatur, apa yang harus dilaku­kan, bagaimana seharusnya mengha­dapi ber­bagai persoalan yang terjadi, mengha­dapi para penguasa, mengha­dapi rakyat, dan bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.
Betapapun, jika misalnya ada ke­sem­­patan bagi seseorang untuk mem­bela aga­ma Allah, dalam bentuk apa pun, dan dalam sisi kehidupan apa pun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksana­kan kewajiban itu, namun apa yang ia laku­kan itu ternyata menimbul­kan efek ne­­gatif yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum mus­limin, tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatu­kan umat Islam diperlukan langkah-lang­kah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sa­yang terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.
Insan-insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan ke­kuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bah­wa ia diracun, yang mengantar­kan­nya pada kesyahidan.
Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Mua­wiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khi­lafah lahiriah ini hingga wafat. Ia me­milih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebenaran, mem­berikan bimbingan, mengajar, memberi pe­tunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Mu­hammad SAW.
Kalau kita bercermin pada yang di­laku­kan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagai­mana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi ”Khalifah” Yazid)?
Beberapa hal harus dipahami me­nge­­nai keberangkatannya ke Irak. Di antara­nya, pertama, adanya surat ajak­an yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang un­tuk mendirikan sebuah pe­merintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata me­reka menipunya, tidak mem­percayai­nya, mengkhianatinya, dan meninggal­kan­nya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan peng­­khianatan ini. Namun, mati syahid tam­pak di depan mata. Sepeninggal ka­kaknya, Al-Hasan, giliran ia yang me­nyim­pan rindu berjumpa kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun  juga tak ingin melam­paui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin menga­jari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah un­tuk patuh kepada penguasa, kendati­pun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para pengua­sa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam ber­bagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.
Jadi, gerakan Al-Husain adalah un­tuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami sing­gung da­lam pembahasan tadi, ia me­mang hen­dak menerjunkan dirinya ke dalam kesya­hidan. Ia begitu rindu untuk bertemu ka­keknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Ra­sulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas ke­se­suaian perkataan dan tindakan yang benar.
Maka, Sayyidina Husain memberi­kan penjelasan mengenai perbedaan berba­gai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk me­nyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluar­ganya gugur sebagai syahid da­lam se­hari. Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Mu­hammad SAW.
Khilafah agung Nabawiyah yang bu­kan sekadar kekuasaan lahiriah itu ke­mudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak me­lakukan shalat. Dua pipinya bergaris hi­tam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia ber­juang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia mengajak kaum muslimin untuk mem­bai’atnya? Apa ia membuat ren­cana ku­deta terhadap penguasa yang ada?
Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa ten­tang agama? Aku bersaksi bahwa ia ter­masuk orang yang paling alim mengenai aga­ma. Demi Allah, ia bukan orang bo­doh. Di masanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.
Namun demikian, ia menyibukkan hi­dupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur’an, menangis, berse­de­­kah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menying­gung urusan kekuasaan. Ia juga tidak per­nah memaki-maki, melaknat, dan meng­u­capkan pernyataan-per­nya­taan buruk ke­pada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Inilah khalifah sejati. Inilah yang di­lakukan generasi terbaik umat ini. Me­reka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak ahlul bayt, sahabat, tabi’in, dan para peng­ikut mereka.
Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua me­ne­­ladani ayah-ayahnya dalam kemulia­an dan jalan ini.
Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan la­hiri­ah, masih banyak pemuka sahabat. Apa pan­dangan mereka? Adakah mereka me­nyatakan ”Kami bersama Anda, kami ber­perang bersama Anda untuk Allah. Se­karang Anda meninggalkan kami dan me­nyerahkan khilafah kepada orang lain”? Tidak. Al-Hasan patuh (pada tun­tunan agama), mereka pun ikut patuh.
Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekua­saan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah di antara me­reka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan te­ladan para penda­hulu dan ajaran Ra­sulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa para imam: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhila­fahan yang lurus atau hidup di tengah-te­ngah kekuasaan kerajaan? Apakah me­reka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menying­kirkan orang-orang yang memiliki kekua­saan itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, men­jaga syari’at di tengah-tengah umat, de­ngan segala kesungguhan dan daya upa­ya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan haki­kat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa meng­amal­kannya. Mereka adalah kha­lifah terbaik dari Rasulullah SAW dan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Peran Khilafah para Nabi
Begitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al-Qur’an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.
Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini!? Ya. Ia khalifah se­lama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ter­nyata kekuasaan bukan berada di ta­ngannya, tapi di tangan orang-orang kafir.
Lalu, apakah tugas khilafah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di ta­ngan Nabi Nuh dan pengikutnya. Pada­hal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun, segelintir orang ini me­miliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di Kapal Nuh. Itu ada­lah balasan atas kesabaran dan ke­tabahannya selama 950 tahun melak­sanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.
Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan ke­kuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari per­tama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari Allah. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ke­tika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.
Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang kha­lifah Allah. Bahkan, termasuk rasul ulul ’azmi, termasuk utusan Allah yang isti­mewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim. Ia ber­ada di bawah kekuasaan Namrudz bebe­rapa kali. Sampai ketika mukjizat­nya mun­cul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi kese­lamatan baginya. Waktu itu, kekuasaan masih di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim ber­ada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak me­mikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah SWT meno­longnya.
Inilah poin terpenting dalam tema khi­­lafah, juga pandangan para salaf menge­nai hal itu. Sekian banyak nabi pun mele­wati keadaan ini.
Begitulah pengertian khilafah. Pe­nger­tian yang memiliki kaitan erat de­ngan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita ti­dak me­langgar prinsip umum dan prin­sip khusus khilafah, juga tidak mengha­langi sebab-sebab datangnya pertolong­an Allah de­ngan hal-hal yang diembus­kan musuh-musuh Allah yang ingin me­rusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-bu­daya buruk yang bertentang­an dengan syari’at ke tengah-tengah kita.
Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan ber­kah kepada kita dan kepada para ulama di sini, juga ulama-ulama lain di Indone­sia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih men­jaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganu­gerahi taufiq dan ampunan.
Hikmah yang Terpendam
Pandangan utuh perihal tema khila­fah diulas Habib Umar Bin Hafidz de­ngan amat gamblang. Di antara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhi­lafahan yang lurus setelah 30 tahun pas­ca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pe­sankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat dita’wil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari redaksi-redak­si kalimat yang terkait kekhilafahan da­lam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satu pun yang meng­galang gerakan khusus untuk mendiri­kan khilafah yang mencontoh kekhi­lafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menying­kirkan orang-orang yang memiliki ke­kuasaan itu?”
Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan para dai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai ber­kata-kata lewat karya-karyanya dan eng­gan berusaha keras demi tegaknya khi­lafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang ter­pen­ting)? Tentu bukan demikian. Mere­ka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bu­kan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.
Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar psi­kologis semacam itu. Pemicunya, aku­mulasi ketidakpercayaan terhadap pe­nyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kun­jung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat: bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?
Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kan­dungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Di sinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal ke­ilmu­an, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukur­an keberhasilan dakwah seseorang, bu­kan yang lainnya. Rasulullah SAW ber­sabda, ”Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, te­tapi Allah melihat kepada amal dan hati­mu.” (HR Ibnu Majah).
Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sem­pat menyinggung, “Lalu pada akhir­nya khilafah kembali seperti ajaran Ra­sulullah SAW. Ini sesuatu yang akan ter­jadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh mak­sud ”akan” di situ, apakah relatif ter­hadap masa dirinya ataukah masa Ra­sulullah. Tampak di sini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah SAW itu adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa men­jelang hari Kiamat kelak. Yang ingin Ha­bib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapa­pun, ”Kabar tentang khilafah ini tidak ber­tentangan dengan perintah-perintah Ra­sulullah terhadap umatnya....”
Pelajaran dari umat-umat terdahulu me­nunjukkan bahwa, karena kesung­guh­­an mereka mengikuti petunjuk sya­ri’atnya dan melaksanakan tugas khila­fah ruha­niyah yang diemban setiap ma­nusia da­lam lingkupnya masing-masing dan men­jadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya se­lama 950 tahun.
Serangkain tulisan dalam Laporan Khusus kali ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, nahdliyin, dan unsur-unsur umat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal-hal yang nyata di tengah masyarakat se­cara ikhlas, lillahi ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan ma­syara­katnya, bukan institusi kenegaraannya.
”Dan sekiranya penduduk negeri ber­iman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah) akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” – QS Al-A’raf: 96.
Tim alKisah, disarikan dari mau’izhah Habib Umar Bin Hafidz di depan Majelis Muwashalah bayna al-’Ulama wa al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar